Mengapa ibadah haji diletakkan di bagian akhir Rukun Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita telaah singkat satu persatu Rukun Islam dimulai dari Syahadat.
Syahadat merupakan pernyataan awal tentang ke-Islam-an seseorang. Ibaratnya kalau seseorang masuk sekolah harus registrasi terlebih dulu. Tanpa registrasi tidak ada hak untuk duduk di bangku kelas.
Sholat merupakan bentuk disiplin menjaga konsistensi ke-Islam-an seseorang. Ibarat sekolah maka kita harus masuk setiap hari untuk mengikuti pelajaran di kelas. Sholat merupakan perpaduan kegiatan fisik dan ucapan dalam ibadah yang harus dilakukan secara teratur sesuai waktunya.
Puasa dapat diibaratkan sebagai ujian semester untuk menguji fisik dan mental orang yang terdaftar sebagai umat Islam. Perut menahan lapar dan haus, sementara hati menjaga lisan dan perbuatan yang dilarang baik selama puasa maupun larangan lainnya dalam agama.
Zakat merupakan bentuk dukungan finansial untuk menjaga keseimbangan kesejahteraan umat agar tidak terjadi ketimpangan yang terlalu besar. Ibarat sekolah, zakat merupakan SPP nya bagi yang mampu, sementara yang tidak mampu juga tetap dapat menikmati bangku sekolah.
Haji dapat diibaratkan sebagai UN yang menggabungkan semua materi ujian, walau tidak memengaruhi kelulusan seseorang. Ibadah haji menggabungkan ujian fisik, mental, dan finansial sekaligus dalam satu waktu tertentu, sekitar 5-6 hari dimulai dari tanggal 9 Dzulhijjah di Arafah dan berakhir di Mina atau Mekah tanggal 13 Dzulhijjah. Sementara Thawaf dan Sa'i bisa dilakukan setelah Arafah atau setelah Jamarot selesai selama dalam bulan tersebut.
Ibadah haji mengutamakan fisik yang prima untuk menjalaninya. Dimulai dari wukuf di Arafah, di tengah panasnya cuaca dan terik matahari (walau tendanya berpendingin udara) para jamaah berdiam diri, baik duduk, rebahan, berdiri, untuk merenung dan mengingat kembali dosa dan kesalahan, serta berdoa mohon ampunanNya.
Malam harinya jamaah bergerak ke Muzdalifah mengambil batu kerikil untuk dilemparkan ke Jamarot di Mina. Zaman dulu dilakukan dengan berjalan kaki sepanjang sekitar 7-8 km dari Arafah. Sekarang sudah ada bis yang mengangkut jamaah, namun karena menunggu antrean terkadang harus bermalam di tengah padang pasir beratapkan langit.
Lewat tengah malam hingga menjelang subuh jamaah bergerak lagi ke Mina untuk melakukan pelemparan batu ke Jamarot dengan jarak sekitar 7-8 km lagi. Jadi Muzdalifah itu berada di tengah-tengah antara Arafah dan Mina. Bayangkan sebelum ada bis para jamaah harus berjalan kaki sepanjang itu.
Walau disediakan bis untuk itu, namun tetap saja ada rombongan yang benar-benar berjalan kaki dari Arafah menuju Mina melalui Muzdalifah. Lebih afdol rasanya mengikuti jejak para pendahulu untuk merasakan betapa beratnya perjuangan melaksanakan ibadah haji di tengah panasnya cuaca yang kadang mencapai nyaris 45 derajat celcius.
Dari Muzdalifah ada rombongan yang langsung menuju Jamarot, ada pula yang beristirahat sejenak di tenda-tenda di Mina. Disinilah ujian fisik sebenarnya karena tidak ada bis dari Mina ke Jamarot sehingga harus ditempuh dengan berjalan kaki sepanjang 3-6 km, tergantung lokasi tendanya. Kalau dekat terowongan lumayan pendek jaraknya, tapi kalau jauh dapat dibayangkan sehari menempuh perjalanan 10-12 km.
Minimal para jamaah harus tiga kali bolak balik untuk nafar awal dan empat kali untuk nafar akhir. Jadi bisa dibayangkan sendiri betapa lelahnya para jamaah menempuh perjalanan jauh setiap harinya. Bagi yang terbiasa jalan mungkin tidak masalah, namun buat yang jarang jalan apalagi dimanja kendaraan pribadi, apalagi buat lansia tentu bukan hal yang mudah.
Setelah selesai, atau bisa juga setelah dari Arafah, para jamaah melakukan tawaf ifadah mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 putaran. Jarak terpendek sekitar 150 m hingga 400 m bila dilakukan di lantai satu dan seterusnya, lalu kalikan 7 kali. Selesai tawaf dilanjutkan dengan Sa'i juga 7 kali antara Safa dan Marwa dengan jarak sekitar 405 m satu jalurnya. Jadi total jarak tempuh sekitar 5-7 km sekali jalan. Belum lagi jarak antara terminal bis ke Masjidil Haram sekitar 500-1000 meter ditempuh bolak balik sekali jalan.
Banyak jamaah sakit karena kelelahan akibat terlalu semangat ibadah yang tidak disertai strategi menjaga stamina. Seharusnya yang wajib diutamakan terlebih dahulu, baru ibadah sunah bila tubuh masih kuat, jangan dipaksakan umtuk aji mumpung meraup seluruh medali pahala yang menguras fisik.
Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah ujian mental, mulai dari niat haji di tanah air hingga kembali pulang. Kalau bicara kesibukan manusia tak akan ada habisnya, jadi memang harus dipaksakan untuk meluangkan waktu mulai dari mendaftar haji, melunasi, hingga menjelang berangkat.
Ada saja ujiannya, seperti tiba-tiba ada kebutuhan mendesak misal anak sakit atau masuk sekolah baru yang membuat pelunasan haji tertunda. Pekerjaan yang menumpuk dan beban tanggung jawab kadang juga turut memengaruhi keputusan untuk menunda keberangkatan haji walau uang ada.
Di saat tiba di tanah suci, ujian lebih besar lagi siap menghadang. Jamaah diuji kesabarannya ketika menghadapi orang lain yang berbeda negara dengan adat istiadatnya masing-masing. Ada yang bergaya slonong boy seperti orang Arab, Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh), ada pula yang adu kuat seperti orang Afrika.
Saat melempar jumrah atau Jamarot di Mina, jamaah harus siap terkena lemparan batu yang tak sampai akibat lemparan orang yang tidak sabar melempar dari jarak jauh. Jamaah juga harus bersabar saat mendekati jamarot baik saat masuk maupun keluar karena begitu banyak orang yang hendak melempar.
Demikian pula saat thawaf mengelilingi Ka'bah harus sabar menghadapi orang-orang yang memaksakan diri mencium Hajar Aswad atau masuk ke dalam lingkar Hijr Ismail dengan memotong langsung arah putaran thawaf. Saar keluarpun harus hati-hati, tetap ikut arus sambil pelan-pelan menuju ke arah luar lingkaran.
Semua harus dilakukan dengan sabar, jauhkan emosi sesaat karena akan mengurangi nilai ibadah. Senggol-senggolan saat thawaf dan lempar jumroh itu biasa, apalagi rebutan shaf, jangan diambil hati. Justru lebih baik menjadi ajang silaturahmi, berkenalan dengan sesama muslim dari negeri lain.
Kesabaran juga diuji menghadapi teman sekamar yang karakternya berbeda-beda. Asa yang suka dingin, ada pula yang menggigil kedinginan di kamar berpendingin udara. Rebutan kamar mandi juga harus dihindari dengan tepa selira di antara penghuni kamar.
Belum lagi jatah makan siang yang kadang-kadang lenyap tanpa sebab. Tak perlu langsung emosi, tanyalah kepala regu atau rombongannya, kalau tak ada juga ya sudah ikhlaskan saja. Soal uang patungan tur juga kadang jadi masalah, so bersabar dan ikhlas, itu kuncinya jika ingin lolos ujian mental.
Hati-hati juga dengan ucapan di tanah suci karena bisa menjadi doa atau bahkan dibayar kontan. Saya pernah kelepasan ngomong tidak butuh bekal yang diberikan panitia di Mina, tak lama bekal makanan tersebut lenyap entah kemana. Dilarang keras berbantah-bantahan, berkata tidak benar, dan menggosip serta berbuat hal terlarang lainnya.
Disinilah jamaah diuji tingkat kedewasaannya dalam menghadapi suatu masalah. Jamaah harus bisa bersikap bijak dan mampu memahami apa yang terjadi serta berempati terhadap jamaah lain yang sudah sepuh atau memiliki keterbatasan fisik sehingga harus dibantu.
Terakhir ujian finansial yaitu kemampuan untuk melunasi biaya perjalanan haji atau dikenal dengan istilah ONH. Tidak semua orang mampu melunasinya, bahkan bagi yang  punya uang sekalipun, apalagi yang memang benar-benar tidak punya uang. Makanya ada program tabungan haji agar calon jamaah bisa mencicil sesuai kemampuan hingga benar-benar mampu melunasinya.
Anggaplah pergi haji seperti mencicil rumah atau motor, harus dipaksakan tiap bulannya agar dapat segera memperoleh nomor antrian setelah pelunasan awal sebesar 25 juta rupiah. Ingat, waktu tunggu semakin panjang, jadi utamakan mencicil haji daripada motor atau mobil. Jangan sampai sudah tua dan sakit-sakitan baru bisa berangkat haji akibat waktu tunggu yang terlalu lama.
Di tanah suci, godaan belanja juga cukup tinggi. Walau semua sudah ditanggung pemerintah termasuk makan, penginapan, dan transportasi, tetap saja jamaah ingin makan enak atau jalan-jalan sendiri. Apalagi tuntutan oleh-oleh demikian besar dari saudara, tetangga, teman kantor, sahabat bikin pengeluaran makin besar. Living cost yang dikembalikan pemerintah sebesar 1500 Riyalpun, dipotong bayar dam 400 Riyal bagi yang mengambil haji tamattu, belumlah cukup. ATM atau kartu kredit menjadi solusi terakhir bila kehabisan uang. Arab Saudi bukanlah negara produsen barang oleh-oleh tersebut.
Anehnya Arab Saudi bukanlah produsen barang oleh-oleh tersebut kecuali kurma. Baramg kelas KW2 biasanya berasal dari Tiongkok, KW1 dari Asia Selatan, sementara yang kualitas tinggi berasal dari Turki. Artinya barang-barang tersebut juga bisa dibeli di Tanah Abang, tapi alasannya rata-rata karena beda kalau belinya di Arab Saudi walau lebih mahal tapi kenangannya itu lho.
Itulah mengapa ibadah haji menjadi rukun terakhir karena benar-benar menjadi ujian paripurna bagi umat Islam. Seluruh aspek ujian hidup ada di dalamnya, mulai ujian fisik, mental, hingga finansial, ibarat UN bagi siswa sekolah. Apalagi waktunya diletakkan di bulan terakhir tahun Hijriah, menandakan bahwa setelah berhaji seyogyanya manusia berhijrah memperbaiki segala kekurangannya dan meningkatkan taraf hidupnya termasuk ibadahnya.
Hajinya akan menjadi mabrur bila mampu berhijrah, namun menjadi mabur bila ternyata tak ada perubahan bahkan malah terjadi kemunduran. Berhaji itu memang berat nak, tidak hanya sebelum dan masa prosesi hajinya saja, tapi juga kehidupan setelahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H