Musim haji kali ini merupakan berkah bagi yang sedang menjalaninya karena terjadi peristiwa langka yang sangat jarang sekali terjadi.Â
Biasanya pada musim haji terutama di musim panas seperti sekarang ini suhu udara luar biasa tinggi hingga di atas 50 derajat celcius! Bahkan prediksi ramalan cuaca pada tahun ini suhu di Arafah pada tanggal 10 Agustus atau bertepatan dengan wukuf tanggal 9 Dzulhijjah bakal mencapai 49 derajat celcius.
Sehari sebelum wukuf, para jamaah haji termasuk saya diberangkatkan menuju padang Arafah. Suhu udara sore itu sudah mencapai 36 derajat celcius, cukup panas untuk ukuran orang Indonesia.Â
Perjalanan relatif lancar hingga ke tenda, dan para jamaah langsung dibagikan batu untuk melempar jumroh di Mina. Selain itu dibagi pula satu boks berisi mie cepat saji dan kopi siap seduh serta cemilan. Jadi sebenarnya tak perlu bawa bekal banyak karena semua sudah disediakan termasuk jatah makan malam.
Antrean juga tak terlalu panjang, hanya ramai menjelang jadwal shalat, makan, dan pagi hari ketika waktuya "ngebom". Selebihnya tak sampai 10 menit mengantre karena semua masih berbaju ihram, jadi nyaris tak ada yang mandi.
Apalagi pas dibacakan khutbah wukuf sebelum sholat dzuhur, suhu di tenda meningkat saat para jamaah berkumpul semua mendengarkan isi khutbah yang disampaikan oleh pembimbing haji kloter.
Selesai khutbah kegiatan dilanjutkan dengan sholat jamaaah dzuhur yang dijamak dengan sholat asar dan di qasar atau disingkat rakaatnya menjadi dua-dua saja.Â
Setelah itu para jamaah dipersilakan mencari tempat masing-masing untuk merenung. Ada yang tetap di dalam tenda, ada pula yang di bawah pohon atau di kursi dekat halte bis maktab.
Saat sedang merenung itulah langit tiba-tiba mendung, padahal sebelumnya cuaca panas terik. Tak lama kemudian hujan mulai turun dan angin kencang menerpa tenda menggoyang terpal penutup.Â
Hujan turun dengan derasnya membasahi bumi Arafah yang tengah diisi para hamba-Nya yang sedang berdoa dan bertaubat. Mungkin inilah berkah bagi para jamaah haji tahun ini karena biasanya saat wukuf itu biasanya cuaca sedang dalam kondisi puncak panasnya.
Shalat Maghrib yang dijamak dengan Isya pun dilakukan dalam gelapnya tenda hingga malam menjelang diberangkatkan ke Muzdalifah.Â
Listrik baru menyala sekitar jam 9 malam saat para jamaah beringsut menuju halte bis dan tenda sudah dikosongkan. Tak sampai 15 menit bis sudah tiba di Muzdalifah, padahal menunggu bisnya hampir 2 jam lebih.
Kami bermalam di tengah padang luas beratapkan langit berhias bintang pasca hujan usai. Hingga pagi hari kami masih mengantre bis menuju Mina, sementara sebagian jamaah lain memilih berjalan kaki daripada menunggu terlalu lama.
Lagipula jalanan macet total karena jutaan jamaah sekaligus hendak melempar jumroh sehingga bis yang mengangkut jamaah terlambat kembali ke Muzdalifah.
Benar saja, sesampai di batas Mina macet total tak terhindarkan. Bis nyaris tak bergerak sama sekali selama satu jam lebih, padahal jarak ke tenda tak sampai dua kilometer lagi. Jam 10 pagi barulah bis bisa merapat ke tenda tempat kami akan bermalam.
Gang-gangnya sempit dan sampah bertebaran dimana-mana, serta bau pipis mulai menyebar. Walau petugas rutin menyapu sampah, tetap saja tak lama kemudian sampah kembali menumpuk.
Panjang antrean toilet membuat sebagian jamaah frustasi dan terpaksa buang air kecil di sudut-sudut gang sehingga menyebarkan bau tak sedap. Beberapa kali petugas mengusir jamaah yang kedapatan hendak pipis dekat tenda, tapi tetap saja ada yang membandel.
Untuk meminimalkan buang air kecil apalagi besar, saya jarang minum dan tidak makan malam serta ngemil. Minum banyak hanya saat perjalanan ke jamarat saja karena lumayan jauh berjalan kaki.
Alhamdulillah saya hanya 2 kali ke toilet setiap harinya. Untuk menghindari antrean panjang, saya ke toilet setelah sholat Maghrib dan Subuh karena pada saat-saat itulah para jamaah sedang fokus ibadah.
Beruntung tenda kami dekat terowongan sehingga tak terlalu jauh dari Jamarat. Keberadaan terowongan juga membantu mengurangi panas terik yang menyengat, walau pernah terjadi tragedi beberapa tahun lalu karena jamaah saling berdesakan.Â
Sekarang sudah diatur jamaah dari maktab atau tenda mana saja yang boleh melintas sehingga tidak terjadi penumpukan jamaah pada satu waktu. Kalau terowongan penuh petugas langsung menutup jalan dan menggembok pagar maktab agar tidak ada yang memaksakan diri masuk ke terowongan.
Awan tampak mendung melindungi jamaah yang sedang melempar jumroh. Saat perjalanan pulang, hujan rintik-rintik mulai menerpa, lama-lama menjadi gerimis kecil hingga tiba di tenda.
Perjalanan hari pertama lancar dan tak terlalu ramai jamaah karena sudah diatur per maktab waktu untuk melempar jumroh. Hari pertama pula kami langsung tahallul atau mencukur rambut usai melempar batu dan menanggalkan baju ihrom berganti dengan pakaian biasa.
Esoknya pelemparan jumroh dilakukan di tiga tempat sekaligus, Jumratul Ula, Wustho, dan Aqabah. Menjelang masuk ke gedung Jamarat hujan deras melanda disertai dengan angin ribut. Sebagian jalan banjir semata kaki, namun perjalanan tetap lancar hingga ke tempat pelemparan batu.
Hujan masih lebat ketika kembali ke kemah membuat baju basah kuyup. Jalanan banjir dekat tenda maktab memaksa kami harus memutar agak jauh untuk menuju tenda. Semakin ramainya jamaah di arah sebaliknya membuat jalan ke maktab juga ditutup sehingga harus lewat jembatan untuk menyeberanginya.
Untunglah semuanya ketemu dalam waktu singkat dan terpaksa harus menata kembali tempat berbaring karena basah akibat banjir sesaat.
Listrik pun sempat mati selama sekitar 2 jam sejak saya tiba di tenda untuk menghindari korsleting selama hujan. Terpaksa kami beristirahat dalam gelap tanpa penerangan, seakan kembali ke zaman Nabi.
Suasana semakin ramai karena hampir semua jamaah akan pulang pada hari yang sama atau mengambil nafar awal. Sebagian lagi baru besoknya bagi jamaah yang mengambil nafar tsani atau tiga kali berturut-turut melempar ketiga jumroh.
Walau ramai sekali, perjalanan tetap berjalan lancar dan banjir yang sempat melanda Mina ternyata sudah surut malam harinya sehingga tak sampai mengganggu perjalanan jamaah.
Ujjian sesungguhnya baru terjaddi justru saat hendak kembali ke hotel. Bis yang seharusnya berangkat jam 10 pagi ditunda hingga jam 12.20 siang pas masuk waktu dzuhur.Â
Menjelang masuk kota Mekkah hingga ke hotel jalanan macet total, bahkan jarak 2 Km ditempuh selama hampir tiga jam! Masalahnya supir tidak tahu persis alamat hotel sehingga kami sempat berputar-putar, padahal bila turun di fly over jaraknya tak jauh dari hotel.Â
Dua setengah jam kemudian kami baru tiba di depan hotel sejak dari fly over tadi karena macet total akibat banyaknya orang yang menuju Masjidil Haram.
Alhamdulillah, proses ibadah haji berjalan lancar dan diberikan perlindungan dari cuaca panas dan menyengat. Mukjizat berupa hujan angin bagi orang Arab merupakan berkah yang luar biasa.
Sebuah kejadian unik karena hampir setiap hari kota Mekah dan sekitarnya terutama di wilayah tanah haram diguyur hujan. Sesuatu yang sangat jarang terjadi apalagi sampai 3 hari berturut-turut turun hujan di tengah musim panas yang terik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H