Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Mukjizat Hujan Angin dan Mati Listrik Iringi Ibadah Haji

15 Agustus 2019   08:30 Diperbarui: 15 Agustus 2019   20:03 9150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musim haji kali ini merupakan berkah bagi yang sedang menjalaninya karena terjadi peristiwa langka yang sangat jarang sekali terjadi. 

Biasanya pada musim haji terutama di musim panas seperti sekarang ini suhu udara luar biasa tinggi hingga di atas 50 derajat celcius! Bahkan prediksi ramalan cuaca pada tahun ini suhu di Arafah pada tanggal 10 Agustus atau bertepatan dengan wukuf tanggal 9 Dzulhijjah bakal mencapai 49 derajat celcius.

Sehari sebelum wukuf, para jamaah haji termasuk saya diberangkatkan menuju padang Arafah. Suhu udara sore itu sudah mencapai 36 derajat celcius, cukup panas untuk ukuran orang Indonesia. 

Perjalanan relatif lancar hingga ke tenda, dan para jamaah langsung dibagikan batu untuk melempar jumroh di Mina. Selain itu dibagi pula satu boks berisi mie cepat saji dan kopi siap seduh serta cemilan. Jadi sebenarnya tak perlu bawa bekal banyak karena semua sudah disediakan termasuk jatah makan malam.

Batas Padang Arafah (Dokpri)
Batas Padang Arafah (Dokpri)
Tenda yang kami tempati besar dan berpendingin udara, jadi tak perlu khawatir kepanasan di dalam. Selain tenda juga tersedia dua lokasi toilet masing-masing 10 kamar untuk pria dan 10 kamar untuk wanita dalam satu lokasi untuk 7 kloter atau sekitar 2500 jamaah.

Antrean juga tak terlalu panjang, hanya ramai menjelang jadwal shalat, makan, dan pagi hari ketika waktuya "ngebom". Selebihnya tak sampai 10 menit mengantre karena semua masih berbaju ihram, jadi nyaris tak ada yang mandi.

Toilet di Arafah (Dokpri)
Toilet di Arafah (Dokpri)
Malam hari suhu turun menjadi 28 derajat celsius, hampir sama dengan Jakarta. Pagi hari menjelang siang cuaca kembali menuju "normal" sekitar 38 derajat celsius, cukup panas walau pendingin udara tetap bekerja. 

Apalagi pas dibacakan khutbah wukuf sebelum sholat dzuhur, suhu di tenda meningkat saat para jamaah berkumpul semua mendengarkan isi khutbah yang disampaikan oleh pembimbing haji kloter.

Selesai khutbah kegiatan dilanjutkan dengan sholat jamaaah dzuhur yang dijamak dengan sholat asar dan di qasar atau disingkat rakaatnya menjadi dua-dua saja. 

Setelah itu para jamaah dipersilakan mencari tempat masing-masing untuk merenung. Ada yang tetap di dalam tenda, ada pula yang di bawah pohon atau di kursi dekat halte bis maktab.

Saat sedang merenung itulah langit tiba-tiba mendung, padahal sebelumnya cuaca panas terik. Tak lama kemudian hujan mulai turun dan angin kencang menerpa tenda menggoyang terpal penutup. 

Hujan turun dengan derasnya membasahi bumi Arafah yang tengah diisi para hamba-Nya yang sedang berdoa dan bertaubat. Mungkin inilah berkah bagi para jamaah haji tahun ini karena biasanya saat wukuf itu biasanya cuaca sedang dalam kondisi puncak panasnya.

Cuaca Mendung di Arafah (Dokpri)
Cuaca Mendung di Arafah (Dokpri)
Derasnya hujan dan angin kencang walau sesaat membuat listrik padam. Tenda menjadi gelap karena tak ada lampu penerangan darurat kecuali di toilet saja. Dalam gelap kami berdoa dan tetap merenung merendahkan diri di hadapan-Nya.

Shalat Maghrib yang dijamak dengan Isya pun dilakukan dalam gelapnya tenda hingga malam menjelang diberangkatkan ke Muzdalifah. 

Listrik baru menyala sekitar jam 9 malam saat para jamaah beringsut menuju halte bis dan tenda sudah dikosongkan. Tak sampai 15 menit bis sudah tiba di Muzdalifah, padahal menunggu bisnya hampir 2 jam lebih.

Kami bermalam di tengah padang luas beratapkan langit berhias bintang pasca hujan usai. Hingga pagi hari kami masih mengantre bis menuju Mina, sementara sebagian jamaah lain memilih berjalan kaki daripada menunggu terlalu lama.

Lagipula jalanan macet total karena jutaan jamaah sekaligus hendak melempar jumroh sehingga bis yang mengangkut jamaah terlambat kembali ke Muzdalifah.

Menjelang Fajar di Muzdalifah (Dokpri)
Menjelang Fajar di Muzdalifah (Dokpri)
Jam 8 pagi kami baru dapat bis, itupun dengan "membajak" bis kosong yang baru kembali dari Mina walau supirnya sempat menolak karena bukan jatahnya mengangkut maktab kami. 

Benar saja, sesampai di batas Mina macet total tak terhindarkan. Bis nyaris tak bergerak sama sekali selama satu jam lebih, padahal jarak ke tenda tak sampai dua kilometer lagi. Jam 10 pagi barulah bis bisa merapat ke tenda tempat kami akan bermalam.

Rapatnya Tenda di Mina (Dokpri)
Rapatnya Tenda di Mina (Dokpri)
Berbeda dengan tenda di Arafah yang luas dan lega, tenda di Mina kecil dan rapat sehingga terkesan padat sekali. Kondisi geografis Mina yang berrbukit turut menunjang sulitnya membangun tenda yang nyaman. 

Gang-gangnya sempit dan sampah bertebaran dimana-mana, serta bau pipis mulai menyebar. Walau petugas rutin menyapu sampah, tetap saja tak lama kemudian sampah kembali menumpuk.

Toilet di Mina (Dokpri)
Toilet di Mina (Dokpri)
Antrean toilet juga jauh lebih padat walau jumlahnya dua kali lipat dibanding di Arafah. Bahkan sebagian toilet pria "diokupasi" wanita saking panjangnya antrian ibu-ibu. 

Panjang antrean toilet membuat sebagian jamaah frustasi dan terpaksa buang air kecil di sudut-sudut gang sehingga menyebarkan bau tak sedap. Beberapa kali petugas mengusir jamaah yang kedapatan hendak pipis dekat tenda, tapi tetap saja ada yang membandel.

Untuk meminimalkan buang air kecil apalagi besar, saya jarang minum dan tidak makan malam serta ngemil. Minum banyak hanya saat perjalanan ke jamarat saja karena lumayan jauh berjalan kaki.

Alhamdulillah saya hanya 2 kali ke toilet setiap harinya. Untuk menghindari antrean panjang, saya ke toilet setelah sholat Maghrib dan Subuh karena pada saat-saat itulah para jamaah sedang fokus ibadah.

Jamaah Memasuki Terowongan Mina (dokpri)
Jamaah Memasuki Terowongan Mina (dokpri)
Setelah berisitirahat sejenak, sorenya kami berangkat menuju Jamarat untuk melempar jumroh pertama kalinya. Seperti biasa cuaca panas mengiringi perjalanan kami. 

Beruntung tenda kami dekat terowongan sehingga tak terlalu jauh dari Jamarat. Keberadaan terowongan juga membantu mengurangi panas terik yang menyengat, walau pernah terjadi tragedi beberapa tahun lalu karena jamaah saling berdesakan. 

Sekarang sudah diatur jamaah dari maktab atau tenda mana saja yang boleh melintas sehingga tidak terjadi penumpukan jamaah pada satu waktu. Kalau terowongan penuh petugas langsung menutup jalan dan menggembok pagar maktab agar tidak ada yang memaksakan diri masuk ke terowongan.

Suasana di Dalam Terowongan (Dokpri)
Suasana di Dalam Terowongan (Dokpri)
Sekitar 40 menit perjalanan kami sampai di Jamarat dan langsung melakukan pelemparan di Jumratul Aqabah yang merupakan jumroh pertama yang harus dilaksanakan. 

Awan tampak mendung melindungi jamaah yang sedang melempar jumroh. Saat perjalanan pulang, hujan rintik-rintik mulai menerpa, lama-lama menjadi gerimis kecil hingga tiba di tenda.

Perjalanan hari pertama lancar dan tak terlalu ramai jamaah karena sudah diatur per maktab waktu untuk melempar jumroh. Hari pertama pula kami langsung tahallul atau mencukur rambut usai melempar batu dan menanggalkan baju ihrom berganti dengan pakaian biasa.

Esoknya pelemparan jumroh dilakukan di tiga tempat sekaligus, Jumratul Ula, Wustho, dan Aqabah. Menjelang masuk ke gedung Jamarat hujan deras melanda disertai dengan angin ribut. Sebagian jalan banjir semata kaki, namun perjalanan tetap lancar hingga ke tempat pelemparan batu.

Hujan masih lebat ketika kembali ke kemah membuat baju basah kuyup. Jalanan banjir dekat tenda maktab memaksa kami harus memutar agak jauh untuk menuju tenda. Semakin ramainya jamaah di arah sebaliknya membuat jalan ke maktab juga ditutup sehingga harus lewat jembatan untuk menyeberanginya.

Jumratul Aqabah (Dokpri)
Jumratul Aqabah (Dokpri)
Sesampai di tenda, kondisi tampak berantakan. Tas ransel dan cangkingan terpisah karena tenda yang kami tempati di salah satu sisinya kebanjjiran sehingga barang-barang yang ada di sisi tersebut harus dipindahkan termasuk barang milik saya.

Untunglah semuanya ketemu dalam waktu singkat dan terpaksa harus menata kembali tempat berbaring karena basah akibat banjir sesaat.

Listrik pun sempat mati selama sekitar 2 jam sejak saya tiba di tenda untuk menghindari korsleting selama hujan. Terpaksa kami beristirahat dalam gelap tanpa penerangan, seakan kembali ke zaman Nabi.

Padatnya Jamaah Menuju Jamarat (Dokpri)
Padatnya Jamaah Menuju Jamarat (Dokpri)
Hari terakhir kami melempar jumroh di pagi hari setelah sholat Subuh karena siangnya para jamaah satu kloter akan dipulangkan kembali kehotel. 

Suasana semakin ramai karena hampir semua jamaah akan pulang pada hari yang sama atau mengambil nafar awal. Sebagian lagi baru besoknya bagi jamaah yang mengambil nafar tsani atau tiga kali berturut-turut melempar ketiga jumroh.

Walau ramai sekali, perjalanan tetap berjalan lancar dan banjir yang sempat melanda Mina ternyata sudah surut malam harinya sehingga tak sampai mengganggu perjalanan jamaah.

Ujjian sesungguhnya baru terjaddi justru saat hendak kembali ke hotel. Bis yang seharusnya berangkat jam 10 pagi ditunda hingga jam 12.20 siang pas masuk waktu dzuhur. 

Menjelang masuk kota Mekkah hingga ke hotel jalanan macet total, bahkan jarak 2 Km ditempuh selama hampir tiga jam! Masalahnya supir tidak tahu persis alamat hotel sehingga kami sempat berputar-putar, padahal bila turun di fly over jaraknya tak jauh dari hotel. 

Dua setengah jam kemudian kami baru tiba di depan hotel sejak dari fly over tadi karena macet total akibat banyaknya orang yang menuju Masjidil Haram.

Alhamdulillah, proses ibadah haji berjalan lancar dan diberikan perlindungan dari cuaca panas dan menyengat. Mukjizat berupa hujan angin bagi orang Arab merupakan berkah yang luar biasa.

Sebuah kejadian unik karena hampir setiap hari kota Mekah dan sekitarnya terutama di wilayah tanah haram diguyur hujan. Sesuatu yang sangat jarang terjadi apalagi sampai 3 hari berturut-turut turun hujan di tengah musim panas yang terik ini.

Banjir di Jalan Menuju Terowongan Mina (Dokpri)
Banjir di Jalan Menuju Terowongan Mina (Dokpri)
Sayangnya berita di negeri sendiri jauh lebih heboh dibanding yang saya lihat dan alami sendiri. Sampai ada kiriman video di grup WA kalau di Mina terjadi bandang, padahal sebenarnya hanya drainase yang melimpah sesaat saja karena hujan lebat. Kondisi juga cepat kembali normal dalam beberapa jam saja dan situasi cepat terkendali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun