Hujan turun dengan derasnya membasahi bumi Arafah yang tengah diisi para hamba-Nya yang sedang berdoa dan bertaubat. Mungkin inilah berkah bagi para jamaah haji tahun ini karena biasanya saat wukuf itu biasanya cuaca sedang dalam kondisi puncak panasnya.
Shalat Maghrib yang dijamak dengan Isya pun dilakukan dalam gelapnya tenda hingga malam menjelang diberangkatkan ke Muzdalifah.Â
Listrik baru menyala sekitar jam 9 malam saat para jamaah beringsut menuju halte bis dan tenda sudah dikosongkan. Tak sampai 15 menit bis sudah tiba di Muzdalifah, padahal menunggu bisnya hampir 2 jam lebih.
Kami bermalam di tengah padang luas beratapkan langit berhias bintang pasca hujan usai. Hingga pagi hari kami masih mengantre bis menuju Mina, sementara sebagian jamaah lain memilih berjalan kaki daripada menunggu terlalu lama.
Lagipula jalanan macet total karena jutaan jamaah sekaligus hendak melempar jumroh sehingga bis yang mengangkut jamaah terlambat kembali ke Muzdalifah.
Benar saja, sesampai di batas Mina macet total tak terhindarkan. Bis nyaris tak bergerak sama sekali selama satu jam lebih, padahal jarak ke tenda tak sampai dua kilometer lagi. Jam 10 pagi barulah bis bisa merapat ke tenda tempat kami akan bermalam.
Gang-gangnya sempit dan sampah bertebaran dimana-mana, serta bau pipis mulai menyebar. Walau petugas rutin menyapu sampah, tetap saja tak lama kemudian sampah kembali menumpuk.
Panjang antrean toilet membuat sebagian jamaah frustasi dan terpaksa buang air kecil di sudut-sudut gang sehingga menyebarkan bau tak sedap. Beberapa kali petugas mengusir jamaah yang kedapatan hendak pipis dekat tenda, tapi tetap saja ada yang membandel.
Untuk meminimalkan buang air kecil apalagi besar, saya jarang minum dan tidak makan malam serta ngemil. Minum banyak hanya saat perjalanan ke jamarat saja karena lumayan jauh berjalan kaki.