Pintar dan sukses mungkin banyak seperti CEO BL atau Gojek, tapi apakah mereka berani melawan arus atau malah terbawa arus besar sehingga mudah terseret praktik korupsi karena rasa tidak enak kepada pihak yang mencalonkannya, walau semuanya sebenarnya hak prerogatif presiden.
Menjadi menteri tidak harus pintar apalagi muda, tapi punya kecerdasan, strategi, dan keberanian untuk melawan arus besar yang didukung oleh integritas dan kejujuran pribadinya. Apalagi anak buah yang bakal dipimpinnya sebagian masih merupakan warisan orde baru yang berpola pikir kolonial dan malah mewariskannya pada generasi berikutnya. Jadi tantangan berat menteri di era Jokowi adalah bagaimana mengimplementasikan keinginan presiden yang milenial di tengah anak buah yang masih kolonial.
Anak muda apalagi pernah sukses di bisnis belum tentu bisa dengan mudah mengimplementasikannnya dalam birokrasi. Banyak sekali ranjau-ranjau birokrasi yang bakal menghadang, tidak hanya aparat yang masih lamban tapi juga banyaknya aturan yang kaku dan tumpang tindih. Ingat, banyak kasus korupsi bukan karena 'merampok' uang negara, tapi lebih karena kesalahan administrasi yang berujung pada hukuman pidana.
Oleh karena itu perlu kehati-hatian dalam memilih menteri dari kalangan milenial. Dia harus mampu merangkul kaum tua sekaligus membada sitausi yang sangat jauh berbeda ketika memimpin perusahaan. Salah mengambil kebijakan dapat berakibat fatal, apalagi sudah terkenal di kalangan birokrasi banyak para pembisik yang cari muka demi jabatan tapi malah justru menjerumuskan sang menteri.Â
Saya sendiri masih merindukan sosok Baharuddin Lopa atau Hoegeng untuk menjadi menteri atau mengepalai sebuah institusi negara. Sosok merekalah yang seharusnya jadi panutan dan ditiru oleh generasi muda. Semoga pakde Jokowi tidak salah memilih kaum muda menjadi menteri, agar tidak menjadi batu sandungan di kemudian hari.
