Keberadaan transportasi online semakin memperparah gap antara mereka yang melek teknologi dengan orang-orang yang masih berpikiran jadul dan tak mau berubah. Mereka yang tak mau kehilangan rezeki gara-gara transportasi online menghalalkan segala cara agar tetap memperoleh penghasilan walau sebenarnya dapat dikategorikan melanggar hukum.
Carut marut pengelolaan pariwisata ini tak lepas dari bisnis pariwisata yang belum menjadi prime mover atau penggerak utama perekonomian. Wisata masih menjadi kebutuhan sekunder, bahkan tersier bagi sebagian besar penduduk Indonesia.Â
Obyek wisata hanya ramai di hari Sabtu-Minggu atau hari libur nasional saja, sementara hari-hari biasa tampak sepi. Hanya Bali saja yang sudah benar-benar menjadikan wisata sebagai mata pencaharian utama penduduknya, lainnya masih mengandalkan sektor lain di luar pariwisata.
Inilah saatnya pariwisata mulai bebenah. Mimpi menjadikan 10 Bali lain di Indonesia harus dimulai dengan edukasi penduduk lokal, bukan sekedar membangun infrastrukturnya saja.Â
Penduduk lokal harus mulai diberdayakan dan dibimbing untuk memberikan kenyamanan pada wisatawan. Pemerintah juga harus bisa menjamin periuk nasi mereka selama dalam masa transisi tersebut agar tidak lagi 'memalak' wisatawan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Percuma membangun bandara dan atraksi di obyek wisata tanpa didukung oleh hospitality penduduk lokal terhadap wisatawan. Mereka akan trauma seperti turis Thailand tadi bila pemerintah tak segera mengedukasi warga lokal.Â
Apalagi di era medsos sekarang ini, segala sesuatu yang buruk dapat segera menjadi viral tanpa terkendali, ibarat kata pepatah bad news is a good news. Kalau pemerintah tidak segera turun tangan, jangan harap industri wisata kita berkembang seperti negeri tetangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H