Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Zonasi Sekolah Cermin Pentingnya Penataan Ruang

25 Juni 2019   11:47 Diperbarui: 26 Juni 2019   10:47 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ribut-ribut soal zonasi sekolah bila ditelusuri lebih jauh ternyata sangat terkait dengan penataan ruang suatu wilayah. Selama ini kita terlalu abai terhadap pentingnya penataan ruang sehingga muncul anekdot 'tata uang' di kalangan perencana wilayah dan kota. 

Perencanaan dan penataan suatu wilayah dan kota lebih didasarkan pada kondisi riil di lapangan serta kebutuhan mendesak masyarakat daripada rencana jangka menengah atau jangka panjang.

Sejatinya penataan ruang membuat rencana pengembangan suatu wilayah untuk jangka menengah dan panjang, sekitar 20-30 tahun ke depan.

Di dalamnya sudah diatur rencana pembangunan kota-kota termasuk sarana dan prasarananya seperti sekolah, puskesmas, rumah sakit dan sebagainya sesuai standar yang berlaku. 

Bila pembangunan wilayah atau kota sesuai rencana seharusnya sudah tidak perlu ada aturan zonasi sekolah lagi karena semua sudah tercantum dalam rencana tata ruang.

Namun cobalah perhatikan pertumbuhan wilayah atau kota sekarang ini lebih mengikuti kemauan pasar daripada perencanaan yang disusun dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). 

Bahkan untuk mengikuti kemauan tersebut dibuatkan klausul revisi RTRW setiap 5 tahun sekali, padahal sebelumnya setiap 10 tahun sekali.

Hal ini berarti bahwa rencana tata ruang selalu di-drive oleh pasar daripada sebaliknya. Padahal sudah seharusnya tata ruang lah yang mengatur perkembangan kota, bukan pasar.

Dalam Kepmen Kimpraswil Nomor 534/KPTS/M/2001 sudah jelas diatur standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, perumahan dan permukiman, dan pekerjaan umum. 

Termasuk di dalamnya adalah sarana pendidikan yang mensyaratkan 1 unit SLTA untuk 30.000 penduduk dan 1 unit SLTP untuk 25.000 penduduk atau setara 1 kecamatan.

Hal ini berarti bahwa dalam satu kecamatan, mungkin satu kelurahan untuk kota besar dengan penduduk padat harus tersedia minimal 1 unit SLTP dan 1 unit SLTA.

Sayangnya pemerintah abai untuk menyediakan sarana minimal tersebut dengan berbagai alasan termasuk keterbatasan anggaran dan tenaga guru sehingga menyerahkan pembangunan sarana pendidikan tersebut pada pihak swasta. 

Swasta tentu juga harus memperhitungkan sisi bisnis disamping memenuhi syarat minimal tersebut sehingga mereka lebih cenderung membangun sekolah di daerah yang 'gemuk' ketimbang di pedalaman. 

Akibatnya di daerah yang kurang penduduk, siswanya harus mencari sekolah di daerah tetangga karena tiadanya sekolah di wilayah tersebut.

Pembangunan perumahan skala besar yang dibangun pengembang selama ini juga cenderung mengabaikan pembangunan sekolah khususnya sekolah negeri. 

Rumitnya Penataan Ruang Kota (Sumber: suarapemredkalbar.com)
Rumitnya Penataan Ruang Kota (Sumber: suarapemredkalbar.com)
Seperti ditulis di atas, penyediaan sekolah di tanah fasos fasum tersebut dilakukan oleh swasta, bukan pemerintah. Padahal pengembang sudah menyerahkan tanah untuk fasos dan fasum kepada pemerintah, namun oleh pemerintah bukannya dibangun sendiri tapi diserahkan lagi ke pihak ketiga sehingga sarana dan prasarana yang seharusnya menjadi fasilitas umum menjadi lahan bisnis semata.

Akibatnya jumlah sekolah swasta berjamur di lokasi-lokasi perumahan strategis, sementara SMP dan SMA Negeri tetap mengandalkan gedung lama yang berada di pusat kota. 

Begitu diterapkan sistem zonasi, pemerintah daerah kelimpungan karena terlambat membangun gedung sekolah baru di lokasi fasos fasum yang sudah diserahkan atau di daerah terpencil.

Dengan adanya sistem zonasi ini, pemerintah daerah 'dipaksa' untuk menyediakan sekolah berikut prasarana dan tenaga pendukungnya mengingat besarnya anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari total APBN/APBD. 

Pemerintah daerah harus mengikuti rencana tata ruang yang telah disusunnya sendiri termasuk dalam penyediaan sarana pendidikan agar tercipta pemerataan pendidikan di seluruh wilayahnya, tidak di tempat-tempat yang strategis saja.

Kita berharap dengan kejadian ini pemerintah daerah mulai memperhatikan betapa pentingnya penataan ruang. Penempatan ruang-ruang untuk sekolah, tempat kerja, industri, dan sebagainya harus mengikuti kaidah yang direncanakan dalam RTRW, tidak lagi mengikuti kemauan pasar. 

Jangan sampai nanti timbul lagi zonasi tempat kerja, bahkan sampai menikahpun harus sesuai zonasi. Sudah bukan zamannya lagi 'tata uang' berkuasa, tapi kesejahteraan rakyatlah yang diutamakan termasuk dalam bidang pendidikan.

Tata ruang harus menciptakan keadilan bagi warga yang tinggal di dalamnya, bukan sekedar memenuhi hasrat para pemilik modal. Tidak ada lagi warga kelas favorit dan warga pinggiran yang tercermin dalam sistem penerimaan siswa selama ini. 

Memang tidak mudah karena terbatasnya anggaran dan tenaga, tapi harus dimulai dari sekarang atau kita tetap tersegregasi secara sosial selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun