Sayangnya pemerintah abai untuk menyediakan sarana minimal tersebut dengan berbagai alasan termasuk keterbatasan anggaran dan tenaga guru sehingga menyerahkan pembangunan sarana pendidikan tersebut pada pihak swasta.Â
Swasta tentu juga harus memperhitungkan sisi bisnis disamping memenuhi syarat minimal tersebut sehingga mereka lebih cenderung membangun sekolah di daerah yang 'gemuk' ketimbang di pedalaman.Â
Akibatnya di daerah yang kurang penduduk, siswanya harus mencari sekolah di daerah tetangga karena tiadanya sekolah di wilayah tersebut.
Pembangunan perumahan skala besar yang dibangun pengembang selama ini juga cenderung mengabaikan pembangunan sekolah khususnya sekolah negeri.Â
Akibatnya jumlah sekolah swasta berjamur di lokasi-lokasi perumahan strategis, sementara SMP dan SMA Negeri tetap mengandalkan gedung lama yang berada di pusat kota.Â
Begitu diterapkan sistem zonasi, pemerintah daerah kelimpungan karena terlambat membangun gedung sekolah baru di lokasi fasos fasum yang sudah diserahkan atau di daerah terpencil.
Dengan adanya sistem zonasi ini, pemerintah daerah 'dipaksa' untuk menyediakan sekolah berikut prasarana dan tenaga pendukungnya mengingat besarnya anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari total APBN/APBD.Â
Pemerintah daerah harus mengikuti rencana tata ruang yang telah disusunnya sendiri termasuk dalam penyediaan sarana pendidikan agar tercipta pemerataan pendidikan di seluruh wilayahnya, tidak di tempat-tempat yang strategis saja.
Kita berharap dengan kejadian ini pemerintah daerah mulai memperhatikan betapa pentingnya penataan ruang. Penempatan ruang-ruang untuk sekolah, tempat kerja, industri, dan sebagainya harus mengikuti kaidah yang direncanakan dalam RTRW, tidak lagi mengikuti kemauan pasar.Â
Jangan sampai nanti timbul lagi zonasi tempat kerja, bahkan sampai menikahpun harus sesuai zonasi. Sudah bukan zamannya lagi 'tata uang' berkuasa, tapi kesejahteraan rakyatlah yang diutamakan termasuk dalam bidang pendidikan.