Ribut-ribut soal zonasi sekolah bila ditelusuri lebih jauh ternyata sangat terkait dengan penataan ruang suatu wilayah. Selama ini kita terlalu abai terhadap pentingnya penataan ruang sehingga muncul anekdot 'tata uang' di kalangan perencana wilayah dan kota.Â
Perencanaan dan penataan suatu wilayah dan kota lebih didasarkan pada kondisi riil di lapangan serta kebutuhan mendesak masyarakat daripada rencana jangka menengah atau jangka panjang.
Sejatinya penataan ruang membuat rencana pengembangan suatu wilayah untuk jangka menengah dan panjang, sekitar 20-30 tahun ke depan.
Di dalamnya sudah diatur rencana pembangunan kota-kota termasuk sarana dan prasarananya seperti sekolah, puskesmas, rumah sakit dan sebagainya sesuai standar yang berlaku.Â
Bila pembangunan wilayah atau kota sesuai rencana seharusnya sudah tidak perlu ada aturan zonasi sekolah lagi karena semua sudah tercantum dalam rencana tata ruang.
Namun cobalah perhatikan pertumbuhan wilayah atau kota sekarang ini lebih mengikuti kemauan pasar daripada perencanaan yang disusun dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).Â
Bahkan untuk mengikuti kemauan tersebut dibuatkan klausul revisi RTRW setiap 5 tahun sekali, padahal sebelumnya setiap 10 tahun sekali.
Hal ini berarti bahwa rencana tata ruang selalu di-drive oleh pasar daripada sebaliknya. Padahal sudah seharusnya tata ruang lah yang mengatur perkembangan kota, bukan pasar.
Dalam Kepmen Kimpraswil Nomor 534/KPTS/M/2001 sudah jelas diatur standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, perumahan dan permukiman, dan pekerjaan umum.Â
Termasuk di dalamnya adalah sarana pendidikan yang mensyaratkan 1 unit SLTA untuk 30.000 penduduk dan 1 unit SLTP untuk 25.000 penduduk atau setara 1 kecamatan.
Hal ini berarti bahwa dalam satu kecamatan, mungkin satu kelurahan untuk kota besar dengan penduduk padat harus tersedia minimal 1 unit SLTP dan 1 unit SLTA.