Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Banyaknya Petugas KPPS Meninggal, Saatnya Pileg dan Pilpres Kembali Dipisah

20 April 2019   21:06 Diperbarui: 24 April 2019   20:28 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas KPPS Meninggal di Samarinda (Sumber: kaltim.tribunnews.com)

Pemilu raya yang menggabungkan pilpres dan pileg telah selesai dilaksanakan tanggal 17 April lalu. Secara finansial, penggabungan kedua pemilihan tersebut jelas efisien karena mengurangi biaya penyelenggaraan dua kali pemilu dalam setahun. Selain itu, panitia (KPPS) juga cukup sekali kerja langsung capek tapi beres semuanya dalam semalam, tidak perlu begadang untuk kedua kalinya di TPS.

Namun demikian, bukan berarti pemilu gabungan tersebut tidak ada cela. Dampak paling terasa adalah berkurangnya greget pileg akibat kalah bersaing dengan hiruk pikuk pilpres. Para caleg tenggelam dalam gegap gempita kampanye capres 01 dan 02, tidak ada ruang sedikitpun untuk menonjolkan diri mereka agar dipilih oleh masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan Wapres JK mengusulkan agar pileg dan pilpres kembali dipisah agar masyarakat fokus pada pileg, tidak hanya pilpres saja (sumber di sini).

Selain itu, ternyata dampak dari penggabungan pemilu tersebut sudah mengkhawatirkan karena banyaknya nyawa melayang karena bertugas sebagai KPPS, saksi, pengawas, atau petugas terkait lainnya seperti polisi. Pemerintah dan DPR lupa, bahwa yang bekerja itu manusia, bukan robot atau komputer yang mampu bekerja lebih dari 24 jam berturut-turut tanpa henti. 

Manusia memiliki keterbatasan baik fisik, psikologi, maupun pikiran yang tidak bisa dipaksa bekerja selama 24 jam penuh demi mengejar tuntasnya perhitungan suara.

Sewaktu kuliah dulu, saya dan mungkin banyak teman-teman mahasiswa yang mengerjakan tugas dengan metode SKS alias sistem kebut semalam. Namun sesibuk-sibuknya mengerjakan tugas, tetap saja bila mata sudah mengantuk kasur menjadi tujuan akhir walau dengan risiko terlambat mengumpulkan tugas. Paling mentok tidak lulus mata kuliah tersebut, atau nilainya dikurangi karena lalai mengumpulkan tugas.

Lain halnya dengan petugas KPPS, tidak ada cerita bisa kabur ke kasur bila perhitungan belum selesai. Demikian pula dengan para saksi dan pengawas serta petugas terkait lainnya. 

Seluruh perhitungan harus tuntas maksimal satu hari setelah dilaksanakan pencoblosan dan tidak bisa ditunda barang satu dua jam karena dikhawatirkan akan terjadi kecurangan akibat kotak suara sudah terlanjur dibuka. Petugas hanya bisa beristirahat secara bergiliran, namun tetap harus ada yang menghitung, tak boleh putus barang satu menit saja untuk menghindari kecurigaan.

Sayangnya, tidak ada pemeriksaan kesehatan khususnya bagi calon petugas KPPS sebelum bertugas. Tidak semua petugas memiliki fisik yang prima, mampu begadang selama lebih dari 24 jam dengan tetap fokus meneliti coblosan yang kadang terlalu kecil untuk dilihat, dan mengamati angka-angka yang begitu banyaknya terutama pada pileg DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, dan DPD. Jadi amat sangat wajar bila kemudian terjadi salah hitung akibat tingkat ketelitian menurun sehingga harus diulang kembali perhitungannya.

Akibatnya, seperti diberitakan di sini dan di sini, banyak anggota KPPS maupun petugas terkait lainnya termasuk polisi meninggal dalam tugas karena kelelahan setelah menghitung suara maupun menjaga kotak suara. Tentu ini sebuah tragedi besar mengingat jumlah korbannya mencapai puluhan jiwa, sesuatu yang rasanya belum pernah saya dengar hingga sebanyak itu pada pemilu sebelumnya. 

Sayangnya lagi, hal ini hanya sekadar menjadi berita yang menghiasi headline saja. Korban hanya dianggap sebagai statistik layaknya QC tanpa ada kepedulian lebih lanjut baik dari pemerintah maupun KPU, apakah berupa santunan atau penanganan lainnya agar hal ini tak terjadi lagi. 

Masyarakatpun tampak lebih peduli pada otak atik angka hasil pilpres daripada menangisi tragedi ini. Mereka lebih peduli pada kemenangan jagoannya daripada para petugas yang mengorbankan waktu, tenaga, bahkan nyawa dalam menyelesaikan perhitungannya. 

Lebih menyedihkan lagi bila mereka yang sudah lelah tersebut malah dituduh macam-macam, dianggap berbuat curanglah, padahal belum tentu kesalahan tersebut disengaja, tapi lebih diakibatkan karena lelah membaca coblosan dan angka.

Seharusnya pemerintah tidak hanya sekadar berhitung efisiensi saja tapi mengabaikan aspek manusianya. Para petugas KPPS tidak hanya sekadar diberi honor yang sebenarnya juga kurang layak, tapi juga diasuransikan, dan dijamin kesehatannya. 

Waktu kerja juga harus dibatasi, bila perlu dibuat dua atau tiga shift agar kesehatan tetap prima. Walaupun sudah dicantumkan salah satu persyaratan calon anggota KPPS harus sehat jasmani dan rohani, namun bukan berarti mereka dianggap seperti robot yang bisa bekerja lebih dari 24 jam.

Oleh karena itu, melihat dampak dari pemilu gabungan yang sudah layak disebut tragedi ini, alangkah baiknya pemilu lima tahun mendatang kembali dipisah. Selain itu, para petugas juga harus diperhatikan waktu kerjanya dan diasuransikan agar ada jaminan bila terjadi musibah hingga berakibat pada kematian. Lebih baik sedikit mengeluarkan anggaran lebih namun pemilu lebih berkualitas sekaligus meminimalisir kesalahan perhitungan akibat kerja maraton seperti sekarang ini.

Ingat, manusia bukan robot yang bisa diperintah sekehendak hati. Jangan anggap remeh satupun nyawa melayang akibat kelelahan selama bertugas menyukseskan pemilu. Nyawa manusia jauh lebih berharga dari kekuasaan, apalagi hanya demi kepentingan orang-orang tertentu yang bersaing dalam kontestasi pileg maupun pilpres. 

Mereka yang dihitung bakal duduk manis bila terpilih, sementara yang menghitung harus kehilangan nyawa demi mereka yang bakal berkuasa. Padahal yang berkuasa belum tentu peduli pada orang-orang yang menghitung suaranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun