Lebih menyedihkan lagi bila mereka yang sudah lelah tersebut malah dituduh macam-macam, dianggap berbuat curanglah, padahal belum tentu kesalahan tersebut disengaja, tapi lebih diakibatkan karena lelah membaca coblosan dan angka.
Seharusnya pemerintah tidak hanya sekadar berhitung efisiensi saja tapi mengabaikan aspek manusianya. Para petugas KPPS tidak hanya sekadar diberi honor yang sebenarnya juga kurang layak, tapi juga diasuransikan, dan dijamin kesehatannya.Â
Waktu kerja juga harus dibatasi, bila perlu dibuat dua atau tiga shift agar kesehatan tetap prima. Walaupun sudah dicantumkan salah satu persyaratan calon anggota KPPS harus sehat jasmani dan rohani, namun bukan berarti mereka dianggap seperti robot yang bisa bekerja lebih dari 24 jam.
Oleh karena itu, melihat dampak dari pemilu gabungan yang sudah layak disebut tragedi ini, alangkah baiknya pemilu lima tahun mendatang kembali dipisah. Selain itu, para petugas juga harus diperhatikan waktu kerjanya dan diasuransikan agar ada jaminan bila terjadi musibah hingga berakibat pada kematian. Lebih baik sedikit mengeluarkan anggaran lebih namun pemilu lebih berkualitas sekaligus meminimalisir kesalahan perhitungan akibat kerja maraton seperti sekarang ini.
Ingat, manusia bukan robot yang bisa diperintah sekehendak hati. Jangan anggap remeh satupun nyawa melayang akibat kelelahan selama bertugas menyukseskan pemilu. Nyawa manusia jauh lebih berharga dari kekuasaan, apalagi hanya demi kepentingan orang-orang tertentu yang bersaing dalam kontestasi pileg maupun pilpres.Â
Mereka yang dihitung bakal duduk manis bila terpilih, sementara yang menghitung harus kehilangan nyawa demi mereka yang bakal berkuasa. Padahal yang berkuasa belum tentu peduli pada orang-orang yang menghitung suaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H