Kasus OTT salah seorang ketua partai besar di negeri ini ternyata menguak adanya praktik jual beli jabatan di lingkungan sebuah kementerian. Sebelumnya mantan Bupati Klaten juga tertangkap OTT karena kasus serupa di lingkungan pemerintah daerah dua setengah tahun lalu. Dua kasus tersebut bak seperti gunung es di tengah banyaknya kasus-kasus seperti itu namun tak pernah bisa terungkap.
Jual beli jabatan sepertinya sudah menjadi hal yang lumrah terjadi di kalangan birokrat. Jarang sekali saya mendengar orang promosi atau mutasi karena prestasi. Justru lebih sering terdengar kalau si A promosi karena dekat dengan menteri, atau si B mutasi ke tempat basah karena menjadi 'tambang emas' pak dirjen, atau si C anak tokoh berpengaruh sehingga cepat mendapatkan posisi cantik.Â
Kompetensi cenderung diabaikan, lebih condong kepada kedekatan pada pihak-pihak tertentu yang berkuasa saja.
Sebenarnya banyak orang pintar dan orang baik menjadi abdi negara. Namun biasanya kalah dengan orang-orang yang loyal dan royal kepada pimpinan. Pimpinan lebih memperhatikan anah buah yang setia kepadanya, apalagi yang rajin mentraktir atau menjamu pimpinannya.Â
Loyalitas dan royalitas merupakan point penting penentu nasib seseorang di hadapan para pimpinan. Percuma pintar dan baik kalau berani membantah perintah pimpinan walau sikap tersebut dibenarkan bila perintah pimpinan di luar ketentuan, apalagi bila disampaikan secara lisan.
Jadi tidak heran kalau banyak pejabat yang bicara belepotan ketika diwawancara atau presentasi dalam sebuah acara. Lha wong diangkatnya saja dengan cara-cara seperti itu, karbitan, sehingga tidak menguasai masalah yang menjadi wewenangnya.Â
Sementara orang-orang yang berpengalaman malah disingkirkan atau diarsipkan karena mereka takut kalau promosi bakal menyaingi dirinya, atau tidak ada lagi orang yang bisa membantunya kalau yang bersangkutan pindah. Jadilah orang-orang berpengalaman tersebut 'fosil' abadi karena tidak pernah dipromosikan walau sudah kenyang asam garam di tempat tersebut.
Saya merasakan sendiri para pimpinan datang dan pergi, sementara saya sendiri duduk manis sampai kapalan selama belasan tahun, nyaris tidak diperhatikan. Para pimpinan itu cuma mengeruk informasi berharga, dipoles sana sini, lalu ngomong ga jelas sampai bingung menjawab pertanyaan.Â
Kalau sudah bingung kita pula yang harus menghadapi mereka-mereka yang bertanya setajam silet. Setelah itu pimpinan lama pergi, ganti lagi pimpinan baru, perilakunya setali tiga uang, sebelas duabelas dengan yang lama.
Mungkin bukan tidak ada perhatian dari pimpinan langsung, namun ada sebuah lembaga yang disebut Baperjakat yang menentukan nasib orang-orang di bawah. Walau kita sudah setengah mati membantu pimpinan, kalau para anggota Baperjakat yang lain tak kenal, jangan harap nama kita disebut-sebut untuk dipromosikan. Kadang saking sebelnya istilah tersebut sering dipelesetkan menjadi Baper Jahat, sudah baperan jahat pula.