Pilpres 2019 ini tergolong unik, karena masing-masing pasangan merupakan kombinasi generasi tua-muda dan milenial-konservatif. Capres 01 yang bergaya milenial justru berpasangan dengan cawapres yang konservatif dan kuno. Sementara Capres 02 yang bergaya orde baru, ortu zaman dulu, malah berpasangan dengan cawapres milenial.
Sebuah antiklimaks sebenarnya ketika capres petahana memilih pasangan yang penampilannya justru kontradiktif dengan dirinya.
Sebagai sebuah strategi mungkin sah-sah saja, tidak ada yang melarang. Sayangnya strategi tersebut justru berpotensi menambah suara golput ketimbang menarik simpati kaum agamis yang selama ini cenderung kepada capres penantangnya.
Sementara capres penantang sedikit lebih cerdik dengan memilih cawapres yang berasal dari kaum muda. Gaya Sandiaga justru lebih mencuri perhatian para kaum milenial yang haus model ketokohan seperti Pakdhe Jokowi yang tampil dengan gaya serupa tahun 2014.
Terlepas dari segala kekurangannya, kehadiran sosok milenial yang mengerti kebutuhan kaum muda sangat dibutuhkan di era Industri 4.0 seperti sekarang ini. Sementara model orang tua jadul sudah tak lagi mendapat tempat di hati kaum muda yang mendambakan perubahan besar di negeri ini.
Debat Kedua dan Ketiga ibarat 'Kalkulator' vs 'Octacore'
Saya sendiri tak begitu menikmati debat yang sudah dilakukan selama tiga kali. Apalagi ketika dipisah debat antara capres dengan cawapres. Tampak sekali penampillan yang tidak apple to apple antara generasi tua melawan generasi milenial.
Generasi tua tampak sekali berpenampilan seperti pejuang kemerdekaan tahun 1945, terlalu formil dan kaku, serta normatif sekali. Sementara generasi muda, walau lebih kreatif dalam ide dan pemikiran, tampak canggung menghadapi generasi tua sehingga menampilkan debat yang sungguh membosankan untuk ditonton.
Ibarat generasi kalkulator melawan prosesor octacore.
Terlepas dari materi dan debat yang disampaikan, saya melihat debat ini sebagai debat yang tertukar. Tampak sekali rasa tidak enak Pakdhe Jokowi ketika berhadapan dengan Pak Prabowo, walau sesekali mencoba melakukan serangan.Â
Sementara Om Sandiaga juga terkesan ewuh pakewuh berhadapan dengan kyai sepuh Ma'ruf Amin, tampak dari jawaban yang cenderung normatif dan tetap santun.