Sejujurnya, saya agak skeptis mengharapkan caleg milenial bakal mampu menghindari godaan korupsi. Perasaan skeptis tersebut makin menguat setelah Romy sebagai salah satu ketua umum partai termuda akhirnya terjerat OTT KPK hari Jumat lalu, menyusul Anas Urbaningrum yang juga terjerat kasus serupa saat menjabat sebagai ketua umum Partai Demokrat dalam usia yang masih relatif muda.
Waktu awal reformasi dulu, saya tertarik dengan sebuah partai berlandaskan agama yang berisi kader-kader muda militan sehingga diharapkan dapat mengubah kondisi negara melalui jalur legislatif sekaligus mengurangi terjadinya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah mendarah daging di era orde baru yang baru saja ditumbangkan oleh mereka.
Sayangnya waktu malah mengubah mereka-mereka yang dulunya idealis, militan, menjadi realis dan kompromis bahkan cenderung permisif terhadap perilaku KKN tersebut.Â
Alasan klasiknya, kita harus 'menyesuaikan diri' agar bisa diterima di lingkungan yang seperti itu. Jadi bukannya mengubah keadaan, malah justru ikut terseret arus besar yang kembali menggurita pasca reformasi bergulir.
Generasi muda yang diharapkan mampu menjadi agen perubahan kalah oleh masifnya perilaku KKN yang sudah tidak lagi berada di bawah meja tetapi justru meja-mejanyapun ikut dibawa serta. Perilaku yang ditunjukkan oleh generasi orde baru rupanya malah menurun bahkan semakin canggih trik yang dilakukan.Â
Seperti tulisan Bung Febrianov di sini menunjukkan bahwa polanya sudah tidak lagi hanya menggantungkan dari proyek-proyek besar atau jual beli kebijakan, tapi sudah merambah ke hal-hal sepele seperti jual beli jabatan.
Sudah banyak upaya yang dilakukan berbagai pihak termasuk KPK dalam melakukan pencegahan korupsi, tapi semua itu hanya sebatas lip service belaka. Masih belum hilang dari ingatan ketika Gubernur Jambi termuda Zumi Zola justru tertangkap KPK setelah mencanangkan gerakan anti korupsi di lingkungan Pemprov Jambi, atau pembuatan patung anti korupsi di Riau yang justru menjadi bancakan korupsi orang-orang yang terlibat dalam pembangunannya.Â
Upaya pencegahan masih sebatas pada retorika belaka, belum pada tindakan nyata sehingga amat sangat wajar bila KPK masih rajin melakukan OTT.
Melihat kondisi seperti ditambah pengalaman selama reformasi, mampukah caleg dari generasi milenial menghindari godaan korupsi? Rasanya masih sulit selama partai politik dan konstituennya belum bisa mandiri dan masih menjadi gantungan hidup para pengurusnya. Para caleg milenial hanyalah akan menjadi sales marketing alias pemburu rente untuk memperbanyak pundi-pundi pendapatan partai politik saja.Â
Apalagi buat mereka yang memang berniat mencari uang di partai, sungguh sangat mudah untuk tergoda karena derasnya lalulintas uang mengalir dari kekuasasan dan pengaruh yang dimiliki anggota legislatif.
Lalu bagaimana agar terhindar dari godaan tersebut? Pertama, tunjukkan sikap tegas untuk tidak ikut-ikutan terbawa arus besar yang terjadi di dalam gedung dewan. Kedua, berani untuk mengundurkan diri atau berhenti menjadi anggota legislatif daripada memaksakan diri ikut dalam arus besar namun malah menjadi korban karena keluguan dan kepolosannya yang dimanfaatkan oleh para senior di partai.
Ketiga, jangan percaya siapapun apalagi sesama politisi karena kondisi dapat berubah setiap saat, hari ini nangkring di partai A besok nongkrong di partai B, hari ini bicara C besok ngomong D. Hanya kepentingan saja yang tidak pernah berubah, yaitu kekuasaan dan uang beserta segala turunannya.
Jangan pernah berfikir kehadiran milenial dapat mengubah segalanya, tapi berhasil lolos dari godaan kekuasaan saja sudah merupakan nilai positif tersendiri. Biarlah generasi tua yang sudah tercemar menghilang dengan sendirinya, berganti generasi milenial yang perlahan membawa perubahan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H