Dari pemilu ke pemilu, golput ibarat kerikil atau sedikit gatal-gatal di punggung. Keberadaannya hanyalah kutu kecil yang tidak akan berpengaruh apapun terhadap hasil pemilu.
Bahkan jikalau jumlah golput lebih besar daripada pemenang pemilu, tetap saja hasil pemilu sah secara hukum karena hanya dihitung berdasarkan jumlah yang memilih saja, bukan jumlah keseluruhan pemilih terdaftar. Jadi ada atau tidak ada golput pemilu tetap berjalan.
Merujuk data yang dikutip dari Tirto dalam artikelnya yang berjudul "Gelombang Golput yang Tak Pernah Surut", kecenderungan golput semakin meningkat pasca reformasi 1998 terutama sejak pilpres langsung dilaksanakan tahun 2004. Â
Khusus untuk pilpres saja angkanya melonjak cukup tajam dari 21,8% pada pilpres putaran I tahun 2004 hingga mencapai 29,01% pada pilpres 2014 atau nyaris mencapai 8% peningkatannya dalam 3 pilpres langsung di era reformasi ini.
Peningkatan jumlah golput ditengarai terjadi karena tidak adanya perbaikan sistem pemerintahan secara signifikan.
Korupsi masih terjadi di sana sini, pelayanan publik masih relatif jalan di tempat walau sudah ada beberapa perubahan seperti pembuatan paspor secara online, ktp elektronik, dan sebagainya. Penguasa boleh berganti, tetapi "yang berkuasa" masih kelompok itu-itu juga.Â
Jargon "Lebih baik memilih yang terbaik dari yang terburuk" atau lesser evil than evils semakin mempertegas betapa buruknya perilaku politisi dan penguasa dan kita "dipaksa" untuk memilih wakil yang buruk tanpa ada opsi pilihan lain yang lebih baik.Â
Nyaris tidak ada niat dari para politisi, partai politik, maupun penguasa dan oposisi untuk memperbaiki diri, malah justru menakut-nakuti dengan mem-bully bahkan hendak mempidanakan para golputers tersebut.
Petahana dan penantang sibuk saling serang sehingga melupakan suara yang dimiliki swing voters yang berpotensi menjadi golputers.
Petahana dengan segala kuasanya malah berupaya menggiring golput ke ranah pidana, sementara penantang seperti biasa hanya melontarkan janji-janji akan kehidupan yang lebih baik tanpa solusi kongkrit yang nyata. Hampir tak ada upaya positif dari kedua kubu untuk merangkul para calon golputers tersebut.
Petahana sebenarnya berpeluang bagus untuk menggaet sebanyak mungkin swing voter dengan keberhasilan pembangunan yang mencapai tingkat kepuasan di atas 70%. Sayangnya upaya tersebut kandas karena keinginan petahana untuk merangkul lawan politik dengan mengambil wakilnya dari kalangan mereka justru berbalik arah.Â