Indonesia khususnya ibukota DKI Jakarta boleh dibilang terlambat untuk mengembangkan transportasi massal terutama dengan menggunakan moda kereta. Mahalnya harga lahan dan teknologi pembangunan kereta komuter membuat Gubernur Sutiyoso saat itu membuat terobosan dengan meluncurkan bus Trans Jakarta yang berbasis BRT pada tahun 2004.Â
Konsep ini mengadopsi sistem transportasi massal berbasis bus (BRT) dari kota Bogota di Kolombia yang dinilai sukses.
Setelah 15 tahun beroperasi, boleh dibilang Trans Jakarta sukses dan konsisten menjalankan model BRT tersebut. Dimulai dari dua koridor Jakarta - Kota dan Pulogadung - Kalideres, sekarang sudah berkembang menjadi 13 koridor beserta anak-anak cabangnya dan bis-bis pengumpan (feeder bus) yang melayani wilayah pinggiran Jakarta seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, dan Ciputat.Â
Ke depan direncanakan 4 koridor baru lagi sehingga total bakal berjumlah 17 koridor yang melayani hampir 80% wilayah DKI Jakarta.
Di era Gubernur Jokowi ide pembangunan MRT kembali muncul dan sebagai tahap awal dibangunlah Fase I dari Lebak Bulus ke Bundaran HI dengan panjang 15,7 Km yang rencananya akan diresmikan pada bulan Maret 2019 ini.Â
Namun pembangunannya cukup menuai kontroversi karena mahalnya biaya konstruksi yang mencapai 16 Trilyun Rupiah, belum lagi biaya operasionalnya. Tarifnyapun direncanakan bakal lebih mahal dari busway yaitu dua hingga tiga kali lipatnya yaitu dari 7000 - 10.000 Rupiah sekali jalan.
Di sisi lain, pemprov DKI juga telah membangun jalur layang busway pertama di Indonesia pada koridor 13 dari Ciledug (Petukangan) ke Tendean sepanjang 9,3 Km dengan biaya hanya 2,3 Trilyun Rupiah saja.Â
Koridor ini dibangun untuk mengatasi kemacetan akut yang terjadi di sepanjang jalan yang dilalui koridor tersebut dengan harapan para pengendara kendaraan bermotor pindah menggunakan angkutan umum. Sejak diresmikan tahun 2017 lalu, jumlah penumpang mencapai 15.000 orang per hari.Â
Bahkan ketika jam operasional ditambah dari pukul 19.00 menjadi 23.00, jumlah penumpang meningkat menjadi rata-rata 17.500 orang per hari. Hal ini menunjukkan betapa tingginya animo masyarakat menggunakan busway koridor 13 yang menggunakan jalur layang tersebut karena bebas macet dan ngetem.
* * * *
Dilihat dari biaya pembangunan dan tarif yang (bakal) dikenakan, sebaiknya pemerintah perlu berpikir ulang untuk membangun jalur MRT atau LRT karena jauh lebih efisien membangun BRT daripada kedua jalur kereta tersebut. Bandingkan saja untuk jarak 15,7 Km butuh 16 Trilyun, artinya diperlukan 1 Trilyun lebih untuk 1 kilometernya dengan variasi elevated dan terowongan.Â