Hari ini di linimasa FB saya berseliweran keluhan harga tiket pesawat yang masih membumbung tinggi, bahkan warga Banda Aceh harus membawa paspor untuk menuju Jakarta hanya untuk sekedar transit di Kuala Lumpur demi memperoleh harga tiket murah (sumber berita di sini).
Keluhan tersebut menjadi viral karena untuk menuju ibukota negara sendiri saja harus lewat ibukota negara lain, padahal ruang udara kita jauh lebih luas dari negeri jiran.
![Harga Tiket BTJ-JKT via KUL (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/01/12/190538-5c39fa86aeebe15591116be5.png?t=o&v=770)
Hasilnya cukup mengejutkan, karena harga tiket dengan transit di Kuala Lumpur 'hanya' 930.800 Rupiah saja.
Bandingkan bila terbang langsung harus merogoh kocek termurah hingga 2.559.000 Rupiah dengan Batik Air, sementara maskapai nasional Garuda menetapkan tarif sebesar 2.962.700 Rupiah atau hampir tiga kali lipat lebih.
Sementara kalau transit di Kuala Namu Medan tarifnya paling murah 1.888.000 Rupiah, dua kali lipat daripada transit di KL.
![Harga Tiket BTJ-JKT via KNO (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/01/12/190527-5c39fa2c12ae9412831ad947.png?t=o&v=770)
Belum lagi bila transit di Kuala Lumpur harus membayar 35 Ringgit atau sekitar 120 Ribu Rupiah karena harus pindah pesawat, sementara bila transit di Medan hanya terkena PSC sebesar 75 Ribu Rupiah, itupun kalau masih pesawat yang sama tidak dikenakan sama sekali.
Padahal PSC sudah termasuk dalam tarif yang dibayarkan, jadi bayangkan betapa murahnya transit di KL karena sudah dipotong PSC sebesar 220 Ribu Rupiah dari harga tiket total sebesar 930.800 Rupiah!
![Harga Tiket Penerbangan Langsung BTJ-JKT (Sumber: Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/01/12/190415-5c39fac1677ffb3281177fb4.png?t=o&v=770)
Padahal kalau transit di KL cukup membayar sebesar 4.654.000 Rupiah atau hampir setengah harga dari transit di Medan atau sepertiga bila terbang langsung.
Sementara biaya pembuatan paspor sebesar 355.000 Rupiah per orang atau total 1.775.000 Rupiah masih tetap lebih murah dan bisa digunakan selama empat setengah tahun ke depan untuk transit kembali.
Kementerian Perhubungan tidak bisa menjelaskan mengapa hal ini terjadi dan hanya berkilah bahwa harga tiket yang ditetapkan tersebut masih belum melampaui tarif atas atas (sumber berita di sini).
Sementara maskapai yang diwakili INACA juga hanya bisa beralasan bahwa bulan-bulan ini termasuk peak season imbas tahun baru dan menjelang hari raya Imlek sehingga wajar bila harga tiket ikut terkerek naik (sumber berita di sini).Â
Terbatasnya jumlah maskapai di negeri ini, apalagi salah satu maskapai bergabung dalam grup BUMN membuat sektor penerbangan menjadi oligopoli karena praktis hanya dua grup besar saja, satunya lagi grup Singa yang menguasai udara Indonesia.
Akibatnya harga bisa dimainkan oleh dua grup besar tadi tanpa ada persaingan bebas di sektor penerbangan. Secara hukum mahalnya harga tiket dapat dibenarkan, namun secara logika tentu aneh bila transit di luar negeri jauh lebih murah daripada di negeri sendiri.
Alangkah lucunya terbang ke ibukota negara harus lewat ibukota negara lain dulu
Seharusnya pemerintah mengkaji dan mengevaluasi kembali penetapan tarif batas atas, tidak sekedar mempertimbangkan segi teknis dan ekonomis serta menuruti kemauan maskapai saja, tetapi juga harus mempertimbangkan sisi sosial dan politik dengan mendengarkan keluhan dari masyarakat. Jangan menganggap remeh temeh hal ini karena sudah menyangkut kedaulatan negara dan harga diri bangsa, bukan sekedar bicara hukum pasar saja. Seperti ditulis di atas, alangkah lucunya bila terbang ke ibukota negara harus transit di ibukota negara lain dulu.
Baca juga:Â "Travel Drain" Ketika Tiket JKT-KUL Lebih Murah daripada JKT-JOG
Tentu ini sebuah ironi dimana pemerintah sedang gencar-gencarnya mempromosikan pariwisata melalui jargon Pesona Indonesia atau Wonderful Indonesia.
Di satu sisi pemerintah ingin menggerakkan warga domestik untuk berlibur di dalam negeri, namun di sisi lain industri penerbangan domestik justru tidak mendukung langkah pemerintah, sehingga akhirnya lebih banyak warga kita melancong ke luar negeri karena harga tiketnya lebih murah dibanding ke pulau lain di negeri ini.
Kejadian ini justru menguntungkan negeri tetangga karena mereka yang transit pasti akan makan dan beli oleh-oleh yang menghasilkan devisa, sementara kita hanya bisa gigit jari karena hilangnya potensi pertambahan nilai ekonomi (value added) akibatnya hengkangnya uang yang dibawa sebagian warga yang transit atau berwisata ke luar negeri.
Jangan sampai mereka mendirikan ibukota sendiri karena tak mampu lagi menggapai ibukota negara
Apalagi di tahun politik sekarang, isu remeh seperti ini bisa meledak bila tak segera ditangani. Apalagi Aceh merupakan basis Prabowo Sandi sehingga keluhan tersebut dapat berbalik menyerang petahana.
Alangkah sayangnya Jokowi berulang kali menyambangi Aceh bila tak mampu meredam gejolak harga tiket yang menyebabkan masyarakat Aceh menyeberang sebentar ke negeri jiran hanya untuk mencapai ibukota. Jangan sampai mereka mendirikan ibukota sendiri karena tak mampu lagi menggapai ibukota negara.
Sekali lagi, ini bukan sekedar masalah harga tiket atau hukum pasar atau sejenisnya, tetapi sudah menyangkut kedaulatan negara. Apa jadinya kalau untuk memperoleh tiket murah saja harus numpang ke negeri orang dulu, apa tidak malu kalau hal ini sampai terjadi lagi di masa datang. Devisa yang seharusnya masuk ke negeri kita malah jadi milik negara lain bila masalah ini tidak segera dituntaskan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI