Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Duka di Tengah Peringatan Hari Sapta Taruna

5 Desember 2018   19:01 Diperbarui: 6 Desember 2018   08:23 1768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senjakala Infrastruktur/Jembatan Barito (Dokpri)

Di tengah peringatan hari infrastruktur bertepatan dengan hari ulang tahun Kementerian PU(PR) yang ke-73 tanggal 3 Desember lalu, tersiar kabar duka tewasnya para pekerja pembangunan jembatan di Kabupaten Nduga yang ditembak mati oleh KKB di Papua, tepatnya di Jembatan Kali Aorak dan Kali Yigi, Distrik Yigi. 

Sayapun terpaksa menunda tulisan tentang peringatan hari infrastruktur karena belum jelasnya kabar peristiwa tersebut pada hari itu.

Sebagai kilas balik, tanggal 3 Desember 1945 terjadi peristiwa penyerangan kantor Departemen PU di Gedung Sate Bandung oleh sekutu yang menyebabkan tewasnya tujuh pemuda yang kemudian dikenal sebagai Sapta Taruna. 

Momentum inilah yang kemudian diperingati menjadi Hari Bakti Kementerian PU setiap tahunnya, mulai dari PUTL, PU, Kimbangwil, Kimpraswil, hingga PUPR sekarang ini. Namun peringatan tahun ini terasa berbeda karena tragedi yang menyebabkan kematian para pekerja infrastruktur kembali terulang di tanah Papua.

Peringatan hari Sapta Taruna memang berdekatan dengan hari berdirinya OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang diperingati setiap tanggal 1 Desember. 

Konon menurut informasi yang diperoleh, sebelum ditembak, di antara para pekerja ada yang kedapatan sedang mengambil foto upacara peringatan tersebut sehingga memancing para KKB untuk menghapus jejak dengan menawan sekaligus mengeksekusi mereka tanpa ampun pada keesokan harinya.

Pemerintah melalui rilis yang dikeluarkan Kementerian PUPR sangat terkejut dan menyesalkan kejadian tersebut, karena pembangunan jalan dan jembatan di wilayah pinggiran seperti Papua merupakan prioritas utama pembangunan infrastruktur sebagai bagian untuk mewujudkan Nawacita. 

Pembangunan jalan dan jembatan tersebut sudah lama ditunggu oleh masyarakat setempat karena menjadi jalur terdekat dari Pelabuhan Mumugu menuju kawasan Pegunungan Tengah untuk mengurangi biaya logistik dan menurunkan tingkat kemahalan yang menjadi persoalan utama saat ini.

Membangun infrastruktur memang tidak bisa berdiri sendiri, tapi juga harus dibarengi dengan pembangunan SDM-nya. Saat saya berkunjung ke Papua tiga tahun lalu dan sempat ngobrol dengan supir yang mengantar kami, dulu saat orde baru pernah dibangun jalan dari Jayapura ke Wamena.

Namun karena sepi dan rawan gangguan keamanan, jalan tersebut lama kelamaan kembali menjadi semak belukar dan hanya tinggal trasenya saja yang tersisa. 

Pemerintah orde baru akhirnya tetap mengandalkan angkutan udara untuk menjangkau berbagai wilayah di pedalaman Papua, karena alamnya yang sulit ditaklukkan, juga manusia penghuninya.

Kemudian Jokowi dengan Nawacitanya berupaya membangun infrastruktur dari wilayah pinggiran agar dapat mengejar ketertinggalan dari wilayah lain. Sayangnya pembangunan yang dilakukan masih bersifat fisik namun belum menyentuh pembangunan manusianya. 

Pendekatan keamanan masih dikedepankan dalam menghadapi KKB Papua, sementara pembangunan SDM di wilayah tersebut boleh dibilang masih jalan di tempat.

 Akibatnya tak heran masih sering terjadi penembakan terhadap para pekerja yang membangun jalan Trans Papua, puncaknya terjadi pada hari Minggu (2/12/2018) lalu yang menewaskan puluhan pekerja.

Saya jadi teringat mengapa Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia pada saat jajak pendapat lalu. Ketika bertugas di Kupang dan sempat bertandang ke perbatasan, warga Timor Timur sebagian besar lebih memilih lepas dari Indonesia karena seringnya terjadi kekerasan fisik terhadap penduduk setempat.

Ssementara sewaktu dijajah Portugis boleh dibilang situasi berlangsung aman damai, nyaris tiada kekerasan terjadi. Pendekatan miiter mungkin efektif dalam jangka pendek, namun bisa menimbulkan trauma dalam jangka panjang.

Situasi inilah yang terjadi di Papua sekarang ini. Ketika sebagian kecil orang menginginkan kemerdekaan, pemerintah sendiri belum mampu mensejahterakan penduduk lokalnya. 

Sejauh pengamatan saya saat berkunjung ke sana, kebanyakan mereka yang berhasil di Papua justru orang dari luar Papua, sementara orang Papua sendiri masih termarjinalkan sehingga menimbulkan kecemburuan sosial yang bisa meledak sewaktu-waktu. 

Akibatnya timbul berbagai peristiwa penembakan sebagai ungkapan kekecewaan kepada pemerintah sekaligus keinginan untuk merdeka yang semakin kuat.

Peristiwa 2 Desember tersebut seperti menjadi kode keras bagi pemerintah agar lebih memperhatikan lagi pembangunan manusia di Papua, meningkatkan kemampuan dan keterampilan agar bisa hidup mandiri. 

Pada dasarnya orang Papua sangat baik dan ramah, namun memang cenderung perasa dan mudah sakit hati bila diperlakukan kurang baik. 

Oleh karena itu perlu adanya pendekatan kemanusiaan, tidak hanya sekedar bantuan namun juga pendampingan hingga mereka bisa mandiri seperti etnis lainnya yang sama-sama tinggal di Papua.

Percuma membangun infrastruktur besar-besaran bila akhirnya tidak digunakan karena orang takut melaluinya. Kita tidak bisa melulu mengandalkan aparat keamanan untuk menjaga jalan Trans Papua yang terbentang hingga ratusan kilometer.

Sudah saatnya pendekatan keamanan dikurangi, berganti dengan pendekatan humanis yang memanusiakan para penghuni lokal Papua. 

Memang tidak mudah, namun harus segera dimulai agar pembangunan infrastruktur tidak sia-sia namun dapat mensejahterakan masyarakat Papua seutuhnya.

Seperti kata pepatah, untuk mengamankan rumah, janganlah membangun tembok tebal, tapi bergaullah dengan manusia sekitarnya karena mereka pulalah yang akan menjadi tembok rumah kita.

Pembangunan infrastruktur penting, namun lebih penting lagi membangun manusia yang akan menggunakan dan memeliharanya. Tindakan pembunuhan para pekerja infrastruktur jelas merupakan bentuk kebiadaban yang tak bisa ditoleransi, siapapun pelakunya harus diseret ke meja hijau. 

Namun pemerintah juga tidak boleh hanya menggunakan pendekatan keamanan semata, tetapi juga pendekatan diplomatis seperti yang dilakukan terhadap GAM di Aceh. Selama kita masih manusia, pasti ada upaya untuk mencapai perdamaian di tanah Papua.

Sumber berita: Detik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun