Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Belajar Membangun Museum Pahlawan Swadaya dari Pak Eko dan Komunitas Reenactor Malang

11 November 2018   11:01 Diperbarui: 12 November 2018   11:36 1469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak Depan Musium Seperti Gedung Belanda (Dokpri)

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri"

-- Bung Karno --

Sayangnya, ungkapan Bung Karno tersebut telah banyak dilupakan orang. Museum sebagai representasi tempat untuk mengingat sejarah sepi dikunjungi orang. Boro-boro ingin membangun, mengunjunginya saja sudah malas. 

Makanya kalau sampai ada orang yang sampai meluangkan waktu membangun museum, dia adalah pahlawan sesungguhnya karena telah berupaya melestarikan sejarah bangsa.

Suasana ala Razia Perang di Gang Menuju Musium (Dokpri)
Suasana ala Razia Perang di Gang Menuju Musium (Dokpri)
Awalnya ketika saya berdinas ke Jatim dan menyempatkan waktu sedikit ke Malang untuk sekedar kopdar dengan teman-teman Bolang. Ketika sedang bingung mencari tempat sejenis warung kopi untuk nangkring, tiba-tiba Pak Eko menawarkan kita untuk kopdar di Museum Reenactor Ngalam tempat beliau biasa nangkring. 

Beliau mengirim foto dan menyampaikan kalau halamannya luas dan bisa menampung hingga 50-an orang. Benar juga, daripada pusing cari tempat nangkring, mending di tempat Pak Eko saja.

Tampak Depan Musium Seperti Gedung Belanda (Dokpri)
Tampak Depan Musium Seperti Gedung Belanda (Dokpri)
Saya sendiri tidak membayangkan Museum Reenactor itu bentuknya seperti apa. Lha wong nyarinya saja lumayan susah karena letaknya agak terpencil di tengah padatnya kota Malang. Untung Kang Habibi yang menemani saya bersedia mengantar ke tempat beliau, walau diapun juga belum pernah ke sana. Hanya kalau menggunakan mobil masuknya harus dari jalan Sigura-gura IV karena terlalu sempit kalau dari Sumbersari III. 

Saya agak bingung ketika turun dari mobil langsung ketemu kuburan. Celingak celinguk kok hanya ada tulisan "Kampoeng Sedjarah" tanpa ada satupun petunjuk ke arah museum, sementara di sampingnya ada bangunan kos tiga lantai yang menutupi area di belakangnya.

Gang Sempit Antara Kos-Kosan dan Kuburan (Dokpri)
Gang Sempit Antara Kos-Kosan dan Kuburan (Dokpri)
Saya agak ragu melangkah ke sebuah gang di samping bangunan kos tersebut, karena tampak seperti jalan buntu. Sempat terdiam sejenak sebelum wajah Pak Eko nongol di ujung jalan, baru saya yakin kalau ini memang jalan menuju museum. 

Alangkah kagetnya karena ternyata di belakang bangunan besar tersebut, tersembul bangunan dengan ciri khas kolom ala Romawi atau Gothik seperti bangunan zaman Belanda dulu. Saya pikir ini bangunan bersejarah, ternyata baru dibangun setelah menang lomba.

Diorama Sisi Kiri Musium (Dokpri)
Diorama Sisi Kiri Musium (Dokpri)
Kamipun duduk dan Pak Eko mulai bercerita sejarah berdirinya museum tersebut. Sebagai pecinta sejarah, awalnya Pak Eko bersama beberapa teman mendirikan Komunitas Reenactor pada tahun 2007. 

Mereka cukup aktif untuk berdiskusi maupun mengikuti acara-acara bertemakan sejarah baik di kota Malang maupun kota-kota lainnya seperti Jogja dan Jakarta. Namun saat itu belum ada tempat yang pasti untuk nangkring atau sekedar ngopi bareng, lokasinya masih berpindah-pindah di seputaran Kota Malang.

Walau bukan warga asli Kampung Tawangsari, sebagai abdi negara yang bertugas di kelurahan tersebut Pak Eko melihat adanya potensi sejarah di kampung ini karena disini pernah tinggal seorang jenderal bernama Sumitro (mantan Pangkopkamtib) yang turut berjuang merebut kemerdekaan di kota Malang. 

Potensi itulah yang kemudian dimanfaatkan untuk mengembangkan kampung tersebut sebagai kampung sejarah. Kebetulan Pemkot Malang saat itu mengadakan lomba tematik antar kampung dan Pak Eko tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk mengikutsertakan kampung Tawangsari sebagai salah satu pesertanya.

Diorama Sisi Kanan Musium (Dokpri)
Diorama Sisi Kanan Musium (Dokpri)
Pak Eko cerita bahwa mereka menang karena berhasil mengagetkan Pak Wali Kota ketika berkunjung ke kampungnya dan masuk ke aula RW untuk melihat-lihat koleksi kampung sejarah yang digagasnya. Ketika rombongan Pak Wali masuk aula, tiba-tiba gedung dikepung serombongan orang berseragam TKR dengan membuat bising suasana dengan suara tembakan bersahut-sahutan. 

Rupanya "sambutan" luar biasa dan tak diduga tersebut justru membuat Pak Wali terkesan sehingga langsung menobatkan kampung tersebut sebagai salah satu pemenang lomba serta diganjar satu buah gedung yang berdiri di tanah Pemda yang terletak di kampung tersebut.

Koleksi Senjata yang Dipamerkan (Dokpri)
Koleksi Senjata yang Dipamerkan (Dokpri)
Berbekal sebuah gedung pemberian dari Pemkot Malang atas keberhasilannya memenangkan lomba Kampung Tematik tahun 2017, Pak Eko beserta komunitas Reenactor Ngalam mulai membangun museum sejarah dengan seizin warga kampung Tawangsari. 

Awalnya mereka sempat bingung hendak diisi apa gedung tersebut, namun prinsip Pak Eko lebih baik mulai dari apa yang ada ketimbang hanya berwacana tanpa aksi nyata, membuat mereka bergotong-royong mengumpulkan barang-barang terkait perang untuk dipajang di museum tersebut.

Diorama Perang Dunia II (Dokpri)
Diorama Perang Dunia II (Dokpri)
Uniknya, senjata-senjata yang dipamerkan di museum tersebut sebagian besar buatan mereka sendiri dengan memanfaatkan berbagai barang bekas seperti ban bekas, kayu dan pralon sisa bangunan, besi tua dan plastik sisa yang dirakit kembali menjadi senjata yang sangat mirip dengan aslinya. 

Pertama masuk ke museum saya langsung kagum dengan pembuatnya yang berhasil menciptakan diorama seperti di Museum Satriamandala atau Museum Jogja Kembali. Sebenarnya Pak Eko pernah diberikan hibah beberapa senjata asli dari seseorang, namun karena takut bermasalah di kemudian hari Pak Eko menitipkan senjata tersebut di Museum Brawijaya. 

Diorama Barikade Militer (Dokpri)
Diorama Barikade Militer (Dokpri)
Memang terkesan museum tersebut tidak memilik tema khusus, hanya mengumpulkan senjata-senjata yang pernah digunakan semasa perang kemerdekaan serta diorama berupa patung tentara dan barikade serta pos jaga. Namun semangat membangun museum secara swadaya inilah yang seharusnya menjadi inspirasi generasi muda untuk tetap mengingat sejarah. 

Walau dengan modal barang bekas dan uang seadanya, Pak Eko dan kawan-kawan berhasil mewujudkan mimpi membangun museum yang menyimpan sekelumit cerita sejarah bangsa di kota Malang.

Diorama Pertahanan Karung Pasir (Dokpri)
Diorama Pertahanan Karung Pasir (Dokpri)
Museum memang sudah berdiri tegak, namun sayangnya belum ada orang yang mau menjaga museum tersebut, sehingga waktu bukanya setelah jam kerja pukul tiga sore hingga pukul enam petang, kecuali Senin libur atau ada perjanjian terlebih dahulu dengan Pak Eko seperti saya ini. Padahal minat kunjungan semakin hari semakin meningkat terutama bagi anak-anak sekolah yang ingin mengenal sejarah. 

Jam Buka Musium (Dokpri)
Jam Buka Musium (Dokpri)
Lokasinya yang tertutup bangunan besar dan bersebelahan dengan kuburan juga menjadi penghalang karena tak terlihat dari luar serta takut akan hantu di malam hari. Mungkin Pak Eko perlu memasang plang selain tulisan 'Kampoeng Sedjarah" agar pengunjung tidak tersesat di kuburan. Untuk mencapai lokasi, paling gampang tinggal cek di aplikasi peta karena nama museum Reenactor Ngalam sudah tertera di dalamnya.

Sosok Pak Eko bersama Penulis (Dokpri)
Sosok Pak Eko bersama Penulis (Dokpri)
Sejujurnya saya sangat berharap akan munculnya Pak Eko lain di kota lain pula untuk sama-sama melestarikan sejarah lokal apapun bentuknya, tak harus melulu bertema perang kemerdekaan. 

Jangan sampai bangsa ini menjadi amnesia sejarah yang mengakibatkan kehancuran karena tidak belajar dari sejarah. Ingat, sejarah akan selalu berulang, hanya berbeda pelaku dan tempatnya saja, namun polanya akan tetap sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun