Walau hampir setiap tahun ke Makassar, namun baru kali ini saya memperoleh kesempatan untuk berkunjung menyusuri bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan. Perjalanan kali ini membawa saya melintasi Makassar-Takalar-Jeneponto-Bantaeng melalui Sungguminasa-Gowa. Sepanjang perjalanan tampak persawahan mendominasi pemandangan, walau sebagian besar baru saja panen dan tampak kering setelah dibakar sisa-sisa hasil panenannya.Â
Sawah Mengering di Kiri Kanan Jalan (Dokpri)
Selain pemandangan sawah, jalan lintas selatan ini juga menyusuri pantai yang indah dan juga tampak hamparan padang garam seperti di Madura. Para petambak garam langsung menjual hasil panennya di tepi jalan, tampak dari tumpukan karung garam maupun bungkusan garam ukuran kecil di sisi kiri kanan jalan. Inilah sumber daya alam luar biasa yang dimiliki wilayah selatan Sulawesi, namun ternyata ada lagi sumber daya lain yang juga baru saja dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk setempat, apalagi kalau bukan listrik.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba pandangan fokus pada beberapa kincir angin yang telah terpasang di tengah persawahan dari tepi jalan utama Takalar-Jeneponto-Bantaeng. Pendamping lokal kami menjelaskan bahwa kincir angin tersebut merupakan bagian dari proyek pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Bayu (PLTB) atau lebih dikenal dengan proyek kebun angin yang akan mengalirkan listrik sebesar total 72 MW untuk wilayah Kabupaten Jeneponto.
Memasuki Wilayah Jeneponto (Dokpri)
Setelah kami keluar mobil untuk tinjauan lapangan, terasa sekali hembusan angin cukup kencang menerpa tubuh. Untung saya membawa jaket sehingga tidak lekas masuk angin. Beberapa kali kertas di atas papan tulis nyaris lepas dan tulisanpuu agak mencong-mencong terdorong tiupan angin. Rupanya daerah ini memang terkenal sebagai lumbung angin, jadi sangat tepat jika kebun angin diletakkan di sini.Â
Pandangan Pertama Kebun Angin (Dokpri)
Lokasi kebun angin berada di Desa Lengke-Lengkese, Kecamatan Binamu, Kabupaten Jeneponto dan dinamai PLTB Tolo-1. Letaknya berada di tengah persawahan dan dekat dengan perkampungan penduduk. Sayangnya kami tidak bisa memandang lebih dekat karena harus melalui pematang sawah kering pasca panen dari tempat kami survei. Sementara untuk masuk melalui jalur proyek tentu tidak bakal diberi izin karena memang tidak ada kepentingan langsung di sana.
Kincir Angin di Tengah Persawahan (Dokpri)
Akhirnya saya memanfaatkan lensa zoom kamera untuk memotret lebih dekat bentuk kincir angin yang sudah terpasang. Sejauh pemandangan saya, sudah terpasang sekitar 8 kincir dari rencana 20 kincir yang ditargetkan selesai tahun 2019 mendatang. Bentuknya mirip seperti yang pernah saya temui sewaktu travelling ke Turki, hanya ukurannya lebih kecil dengan tinggi tiang hanya 135 meter, sementara panjang kincir 64 meter dan lebarnya 5 meter. Kincirnya sendiri berbentuk segitiga seperti mesin pesawat terbang zaman dulu, namun karena belum beroperasi kincirnya hanya diam tidak mengayun.
Kincir Berbentuk Segitiga (Dokpri)
Pembangunan kincir angin di Kabupaten Jeneponto ini merupakan yang kedua setelah Kabupaten Sidrap. Kedua daerah tersebut merupakan penghasil angin yang cukup untuk menggerakkan kincir yaitu sekitar 6m/s, sekaligus sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan energi tak terbarukan seperti batubara dan minyak bumi sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Selama ini hanya air, sinar matahari, dan panas bumi yang telah dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik terbarukan, sementara penggunaan angin baru dilakukan pembangunannya di kedua kabupaten tersebut.
Pedagang Garam di Tepi Jalan (Dokpri)
Dulu, kincir angin hanyalah cerita dari negeri Belanda. Sekarang, kita sudah mampu membangun, tidak sekedar bermimpi. Semoga kita tidak hanya sekedar bisa membangun saja, tapi juga memelihara dan mengembangkannya di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya