Di tengah serunya perhelatan Asian Games yang sedang berlangsung di negeri ini, tiba-tiba deklarasi gerakan #gantipresiden2019 kembali muncul ke permukaan.Â
Negeri yang sedang euphoria mabuk kemenangan karena raihan emas di atas perkiraan, dikejutkan dengan ramainya berita persekusi saat deklarasi tersebut. Negara yang tengah bersatu dalam gelora kemenangan Asian Games berusaha dipecah kembali oleh segelintir orang caper terhadap manusia baperan.
Baca juga: Gerakan "2019 Ganti Presiden" (Bukan) Pepesan Kosong di Pilkada
Saya jadi ingat waktu kecil dulu sering menggoda adik dan akhirnya berantem. "Ah kamu, masa 3x3 aja ga tau sih? Emang ga diajarin di sekolah? Buat apa sekolah kalau ga tahu juga?" ucap saya ketika adik yang masih kelas satu SD datang menanyakan jawaban setelah orang tua menyuruhnya untuk minta jawaban ke saya. Dia langsung menangis dan mengadu ke orang tua. Sayapun dimarahi karena tidak memberikan jawaban malah meledeknya.
"Lha, saya kan cuma nanya, emangnya di sekolah ga diajarin? Ga salah to bu?" Saya berusaha membela diri di depan ibu. Lha memang benar koq, buat apa disekolahkan kalau hitungan seperti itu saja masih nanya. "Kamu benar sayang, tapi ga salah juga kan adik nanya, bukan berarti dia bodoh, bisa saja lupa. Lagipula sekarang kan libur, masak harus nunggu besok? Padahal besok dia kan ulangan," ibu berusaha menjelaskan kenapa adik saya maksa bertanya.
Sejujurnya, saya memang lagi caper sama orangtua karena nampaknya beliau lebih sayang ke adik daripada saya. Sementara adik saya memang baperan, dikit-dikit nangis, padahal itu kan hal sepele. Tinggal cuekin aja saya dan balik nanya lagi ke ibu, selesai. Tapi memang pikiran orang kan beda, apalagi beda umur yang lumayan jauh. Mana ngerti adik saya kalau harus EGP, bisanya cuma nangis aja.
Begitulah kondisi negeri kita sekarang ini. Satu pihak berusaha caper karena sudah berupaya maksimal tapi hasilnya ga naik signifikan, satu lagi baperan karena merasa di atas angin.Â
Penggagas gerakan #gantipresiden2019 berusaha untuk mencari dan mencuri perhatian publik dengan deklarasi di berbagai kota yang 'dinilai' dapat memancing baper pihak sebelah.Â
Pilihan tempatnya pun pas, tuan rumahnya baperan alias ga terima di tempatnya diadakan deklarasi tersebut, sehingga muncullah kericuhan antara pendukung dan penolak gerakan tersebut.
Di negeri yang masih mudah diadu domba ini, mencari kemenangan dengan elegan merupakan barang yang sulit sehingga model pragmatis ala Mourinho pun diterapkan, tak peduli melanggar etika atau tidak, selama tidak melanggar hukum positif yang berlaku. Toh ini negara demokrasi, semua boleh bicara apa saja selama tidak melanggar hukum. Di sisi lain ada pihak yang mudah baperan sehingga klop situasinya untuk dibakar pelan-pelan.
Persoalan muncul ketika demokrasi sudah tidak peduli perasaan orang lain. Tepa selira sudah tak lagi diindahkan, malah seperti sengaja ditabrak supaya memancing kerusuhan sehingga timbul persekusi dari si baper pada si caper. Itulah yang memang dicari si caper agar memeroleh perhatian bahwa si baper ini memang hobi persekusi sehingga tidak layak untuk dipilih kembali. Mengadulah si caper pada dunia bahwa dia dipersekusi, sementara si baper sibuk membela diri dengan mengatakan si caper tukang meledek sehingga memancing kemarahan si baper.
Memang sulit mengukur sejauh mana etika dan tepa selira harus diberlakukan, mengingat tidak ada standar baku yang sama di tiap negara. Misalnya kalau di negara barat, seperti yang sering kita lihat di pertandingan sepakbola, memegang kepala orang adalah bentuk penghargaan kepada orang tersebut agar kembali bersemangat main setelah dijegal, tapi di negeri kita, memegang kepala berarti mengajak perang. Beda dengan aturan hukum yang jelas larangan dan hukumannya.
Celah itulah yang dimanfaatkan segelintir orang, dengan mengatasnamakan demokrasi, untuk memancing emosi pihak lain yang bakal merasa tersinggung oleh jargon tersebut. Ibarat 'tumbu ketemu tutup', klop sudah seperti hukum ekonomi, ada permintaan ada penawaran, lu jual gue beli. Orang caper diladeni oleh orang baper, selesai sudah urusan.
Lalu bagaimana solusinya agar hal ini tidak terus berlanjut? Menurut saya cuma ada dua, hentikan atau abaikan. Kalau masih punya perasaan, sebaiknya hentikan gerakan tersebut, ganti jargon yang lebih elegan dan terhormat. Tapi kalau masih mencoba bertahan, sebaiknya abaikan saja, jangan diberi panggung. Jadi kalau ketemu orang caper sebaiknya jangan baper kalau tak ingin api semakin membesar. Semua kembali ke niat, apakah kita masih ingin bersaudara atau memang hanya ingin berebut kuasa?
Kalau masih seperti ini juga, ga usah berharap negeri ini maju. Kita akan masih terus dihantui percekcokan yang hanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang haus kekuasaan. Kita hanya akan menjadi pion yang tak pernah naik kelas di antara para gajah yang berebut kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H