Baca juga: 73 Tahun Merdeka, Kita Masih Mudah Diadu Domba
Persoalan muncul ketika demokrasi sudah tidak peduli perasaan orang lain. Tepa selira sudah tak lagi diindahkan, malah seperti sengaja ditabrak supaya memancing kerusuhan sehingga timbul persekusi dari si baper pada si caper. Itulah yang memang dicari si caper agar memeroleh perhatian bahwa si baper ini memang hobi persekusi sehingga tidak layak untuk dipilih kembali. Mengadulah si caper pada dunia bahwa dia dipersekusi, sementara si baper sibuk membela diri dengan mengatakan si caper tukang meledek sehingga memancing kemarahan si baper.
Memang sulit mengukur sejauh mana etika dan tepa selira harus diberlakukan, mengingat tidak ada standar baku yang sama di tiap negara. Misalnya kalau di negara barat, seperti yang sering kita lihat di pertandingan sepakbola, memegang kepala orang adalah bentuk penghargaan kepada orang tersebut agar kembali bersemangat main setelah dijegal, tapi di negeri kita, memegang kepala berarti mengajak perang. Beda dengan aturan hukum yang jelas larangan dan hukumannya.
Celah itulah yang dimanfaatkan segelintir orang, dengan mengatasnamakan demokrasi, untuk memancing emosi pihak lain yang bakal merasa tersinggung oleh jargon tersebut. Ibarat 'tumbu ketemu tutup', klop sudah seperti hukum ekonomi, ada permintaan ada penawaran, lu jual gue beli. Orang caper diladeni oleh orang baper, selesai sudah urusan.
Lalu bagaimana solusinya agar hal ini tidak terus berlanjut? Menurut saya cuma ada dua, hentikan atau abaikan. Kalau masih punya perasaan, sebaiknya hentikan gerakan tersebut, ganti jargon yang lebih elegan dan terhormat. Tapi kalau masih mencoba bertahan, sebaiknya abaikan saja, jangan diberi panggung. Jadi kalau ketemu orang caper sebaiknya jangan baper kalau tak ingin api semakin membesar. Semua kembali ke niat, apakah kita masih ingin bersaudara atau memang hanya ingin berebut kuasa?
Kalau masih seperti ini juga, ga usah berharap negeri ini maju. Kita akan masih terus dihantui percekcokan yang hanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang haus kekuasaan. Kita hanya akan menjadi pion yang tak pernah naik kelas di antara para gajah yang berebut kekuasaan.