Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Idul Adha, Berkorban untuk Siapa?

22 Agustus 2018   18:24 Diperbarui: 22 Agustus 2018   18:45 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak akan bercerita panjang lebar mengenai sejarah Idul Adha karena saya yakin para pembaca yang budiman sudah lebih tahu dan mungkin paham dari saya sendiri. Mumpung momen lebaran berdekatan dengan hari kemerdekaan, mari kita bahas untuk siapa sih kita berkorban? Untuk negarakah? Untuk keluarga? Untuk pacar? Untuk partai? Untuk golongan? Atau untuk siapa lagi?

Negeri ini merdeka karena pengorbanan seluruh rakyat Indonesia yang rela menepiskan perbedaan suku, ras, agama dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Mulai dari Sultan Agung, Pattimura, Sisingamangaraja, hingga Bung Karno dan Soedirman, mereka rela mengorbankan diri dan rakyatnya untuk berjuang lepas dari penjajahan,  walaupun tak semuanya berhasil melalui perang terbuka. Namun semangat mereka masih tetap berkobar hingga era Soekarno dan kawan-kawan yang menuntut kemerdekaan lewat jalur diplomasi.

Saat kemerdekaan baru diraih, bibit-bibit perpecahan mulai muncul. Bangsa yang pernah diadu domba oleh penjajah ini rupanya memang menyimpan karakter tersebut dibalik pengorbanan mereka merebut kemerdekaan. Ada sebagian kelompok bangsa yang ternyata menuntut 'kemerdekaan' lain setelah kita merdeka. Pemberontakan DI/TII, PRRI/Permesta, G30S/PKI merupakan beberapa contoh sebagian elemen bangsa yang mencoba peruntungan untuk lepas dari pangkuan NKRI.

Zaman orde baru, pola berubah menjadi pembangunan yang menitikberatkan pada pengembangan infrastruktur dan memperkuat kekuasaan dengan mengebiri sistem demokrasi. 

Namun keinginan sebagian golongan untuk lepas ternyata belum reda. Aceh, Irian Jaya, dan Timtim adalah contoh betapa negara ini rentan akan perpecahan. Aceh merasa dianaktirikan karena merasa telah berkorban banyak buat bangsa, termasuk membeli pesawat Seulawah 001, namun ternyata hanya sedikit memperoleh kue pembangunan dibanding pulau Jawa dan wilayah Sumatera lainnya.

Sementara sebagian penduduk Irian Jaya (sekarang disebut Papua) merasa tidak satu ras dengan bangsa Indonesia lainnya yang termasuk rumpun Melayu, dan sumberdaya alam merekapun juga dikuras habis demi pembangunan di pulau lainnya. Timor Timur merasa bukan bagian dari Indonesia karena beda penjajah walaupun secara etnis sama dengan penduduk di Timor Barat. Di sinilah pengorbanan prajurit TNI dan para perintis transmigrasi berjuang untuk mempersatukan Indonesia dengan ikut membangun daerah-daerah tertinggal tersebut. 

Hasilnya terlihat sekarang ini dimana daerah mulai bangkit mengejar ketertinggalan dengan dukungan mereka yang rela berkorban jauh dari kampung halaman untuk membangun kampung saudara sebangsanya yang masih tertinggal. Saya sudah berkeliling Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Nunukan hingga Rote, dan melihat langsung betapa Indonesia sebenarnya sangat kaya asal kita mau bekerja keras dan bersama-sama membangun bangsa.

Orde baru tumbang, orde reformasi datang dengan mengusung keterbukaan demokrasi. Orde kali ini justru berkebalikan dengan orde baru, orang mulai bebas bicara bahkan hingga kebablasan tanpa ada rem yang menahannya. Pengorbanan untuk negara berubah menjadi pengorbanan demi partai politik atau golongan tertentu. Setiap ada isu atau kejadian besar, yang pertama kali dibela adalah partai atau golongannya, bukan negaranya. Semua menuntut hak bagi diri dan partai atau golongannya, bukan memberikan kewajibannya kepada negara.

Contoh paling mudah adalah gejolak pilpres yang tidak (pernah) akan berakhir karena masing-masing pribadi hanya mementingkan pilihannya sendiri. Kita kembali mudah diadu domba karena perbedaan preferensi politik yang hanya berlangsung lima tahun sekali. Nyaris tiada lagi pengorbanan demi keutuhan negara dan bangsa karena kita hanya memikirkan pilihan kita sendiri, padahal bencana besar seperti di Lombok memerlukan pengorbanan kita semua sebagai bangsa untuk bersatu memulihkan kembali pulau tersebut dari kerusakan akibat gempat.

Lebih menyedihkan lagi ketika seseorang mati-matian membela partai atau golongannya, ketika tertangkap tangan (OTT) KPK atau terlibat praktik korupsi, partai atau organisasi tempatnya bernaung ramai-ramai membantah dan tidak membela, bahkan mengeluarkan yang bersangkutan dari keanggotaan partai atau organisasi. 

Teman-temannya yang sebenarnya 'ikut' menikmati rama-ramai berkelit dengan berbagai alasan yang tidak jelas demi mengamankan diri sendiri dan partai atau organisasinya.

Lihatlah nasib yang dialami Nazaruddin cs, tidak ada seorangpun yang membela nasibnya ketika terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Demikian pula kasus eKTP yang berlarut-larut karena setiap orang yang terlibat pasti berusaha menghindar dari jeratan kasus tersebut. Padahal sudah demikian besar para napi kasus tipikor yang rela berkorban demi partai dan organisasinya, namun hanya di PHP oleh induk semangnya sendiri.

Zaman berubah, pola pengorbanan turut bergeser. Ketika sebelum merdeka kita rela mengesampingkan ego pribadi dan golongan, namun kala sudah merdeka justru kita malah menuntut hak dan mengabaikan kewajiban. Para elit politik hanya mempertontonkan pengorbanan bagi partai dan golongannya sendiri. Rakyat di bawahpun mau tak mau mengikuti tingkah para elitnya yang berlaku demikian.

Untunglah di zaman medsos sekarang ini, di kalangan akar rumput justru ada sebagian pemuda yang rela mengorbankan dirinya untuk berjuang membangun bangsa. 

Kejadian bencana yang terjadi di berbagai belahan negeri justru berhasil ditangani oleh para pemuda ini yang tidak banyak berkilah namun tetap bekerja keras untuk menyelesaikan masalah. Sayangnya orang-orang seperti ini tenggelam oleh riuh rendahnya akrobat elit politik yang masih saja mementingkan diri dan golongannya sendiri.

Lalu kita sendiri, berkorban untuk siapakah sebenarnya? Silakan renungkan sendiri, apa yang sudah bisa kita berikan buat diri, keluarga, bangsa dan negara ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun