Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pragmatisme, Dari Piala Dunia hingga Pilpres

12 Agustus 2018   13:11 Diperbarui: 12 Agustus 2018   13:28 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Kita ingin cari menang, bukan konser musik yang memuaskan penonton" Anonymous

Kata 'Pragmatisme' akhir-akhir ini menjadi populer terutama setelah penentuan siapa calon cawapres dari masing-masing calon presiden di negeri ini. Namun sebelum itu, bahkan sejak gelaran piala dunia dimulai, fenomena pragmatisme sudah muncul seiring dengan kemajuan ekonomi yang membuat kebutuhan dan keinginan manusia semakin meningkat namun sumber pendapatan semakin terbatas. Pragmatisme dinilai menjadi jalan tengah dalam upaya mencapai tujuan dengan cepat tanpa harus mengorbankan berbagai sumberdaya yang belum tentu hasilnya setimpal.

Frasa 'Pragmatisme' berasal dari kata 'Pragma' dalam bahasa Yunani yang berarti perbuatan atau tindakan, dan 'Isme' yang berarti aliran pemikiran atau falsafah hidup. Pragmatisme menjadi suatu aliran dalam filsafat yang dapat diartikan sebagai sebuah pemikiran yang memandang suatu kebenaran bergantung pada faedah atau manfaat yang dihasilkan dari apa yang dikerjakan oleh manusia tersebut (Shiddiq, 1995). Saya tidak akan bercerita panjang lebar mengenai teori dan sejarah pragmatisme karena dapat dicari sendiri di internet, namun tulisan ini lebih ditujukan kepada analisis situasi yang terjadi beberapa waktu belakangan ini.

Menurut pengertian saya yang awam ini, pragmatisme dapat diartikan sebagai sebuab tindakan yang lebih bersifat praktis, dapat dilaksanakan asal tercapai tujuan. Dalam sepakbola, pragmatisme ditujukan untuk mencapai sebuah kemenangan tanpa harus bermain cantik apalagi menghibur penonton. Masih ingat ketika Inter Milan meraih gelar Liga Champions 2010 hanya dengan dua kali serangan balik mematikan berbanding Bayern Muenchen yang berkali-kali mengoyak tembok pertahanan Inter yang tak kunjung tembus.

Dalam kasus piala dunia, pragmatisme mulai terlihat sejak Piala Dunia 1990 di  Italia, dimana Argentina yang terseok-seok di fase grup bahkan 'hanya' lolos sebagai peringkat ketiga terbaik grup berhasil melaju hingga ke final dengan kemenangan tipis 1-0 di sepuluh menit terakhir melawan Brasil dan pertolongan dua kali adu penalti melawan Yugoslavia dan Italia, sebelum akhirnya kalah 0-1 dari Jerman di final.

Final piala dunia 1994 merupakan puncak dari betapa membosankannya pragmatisme yang dimainkan Brasil dan Italia hanya untuk menanti adu penalti dan Brasil lebih beruntung memenangkannya. Demikian pula tim Spanyol menjadi pemenang piala dunia dengan jumlah gol paling sedikit, hanya mencetak 8 gol untuk menjadi juara dunia setelah sempat kalah 0-1 dari Swiss di partai perdananya dan hanya menang 1-0 sejak perdelapan final hingga partai puncak.

Bergeser ke pilpres, pragmatisme kembali dipakai kedua calon yang akan kembali head to head bertarung di final pilpres 2019 mendatang. Petahana dengan berani malah mengusung ijtima ulama 212 yang justru diabaikan oleh penantangnya yang seharusnya menjalankan ijtima tersebut. Petahana lebih memilih mempertahankan kekuasaannya dengan memilih wakil yang memiliki pengaruh kuat di kalangan umat Islam namun tidak berpotensi menjadi matahari kembar yang dapat menjadi calon unggulan pada tahun 2024. 

Sementara, walau masih sebatas dugaan, pemilihan wakil penantang dimaksudkan untuk meredam perebutan calon wapres dari masing-masing partai pengusung yang masih ngotot mengajukan calonnya sendiri untuk mendampingi sang penantang. Betul bahwa dalam jangka pendek, pemilihan cawapres tersebut mampu meredam gejolak yang terjadi akibat perseteruan abadi antara pendukung petahana dengan penantang sejak berakhirnya pilpres 2014. Kekecewaan kedua pendukung tentu saja ada, namun rasanya tidak akan sampai pada golput massal mengingat mereka juga masih berharap ada perbaikan di masa datang.

Pada akhirnya, semua bermuara demi meraih kemenangan dalam pilpres, tak peduli ada pihak yang kurang berkenan dengan cara-cara seperti itu. Pragmatismelah pemenang sejatinya, mengalahkan segala idealisme yang hanya sebatas kata demi memajukan bangsalah, demi kesatuan dan persatuanlah, atau demi apapunlah asal bukan demi moore ajah. Tidak ada yang peduli mau dibawa kemana bangsa ini dalam jangka panjang.

Dalam hidup, kita juga sering dihadapkan pada pilihan, antara mempertahankan idealisme dengan resiko tidak akan memperoleh apa-apa, atau bersikap pragmatis demi memperoleh sesuap berlian. Selama masih dalam koridor aturan dan hukum serta tidak mengabaikan etika, sah-sah saja sikap pragmatis dijalankan demi mempertahankan hidup dan eksistensi. Persoalan timbul ketika pilihan bersikap pragmatis harus melalui jalan kriminal seperti korupsi atau jualan narkoba yang tentu akan berhadapan dengan penegak hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun