Menghadiri acara ICD 2018 yang bertempat di Kota Malang menjadi perjuangan tersendiri yang melelahkan sekaligus memerlukan tekad yang kuat untuk tetap bertahan mengikuti ajang tersebut. Awalnya saya dan mbak Gana hanya sekedar iseng saja mendaftarkan Koteka untuk ikut ICD karena pada gelaran pertama di Yogyakarta kami absen sehingga tidak terlalu berharap bakal ikut kali ini.
Namun di tengah jalan mendadak diumumkan kalau tiket Matarmaja habis sehingga saya terpaksa membatalkan keberangkatan bersama teman-teman admin lainnya. Belakangan ternyata diganti kereta Majapahit sehingga hanya sekitar 13 orang berangkat dari rencana 25 orang.
Saya sempat berpikir untuk membatalkan kehadiran di ICD karena malas juga kalau harus beli tiket sendiri, dan belum ada pengumuman komunitas mana yang berhak ikut ICD. Apalagi kalau harus bawa mobil sendiri, dengan penyakit kembung yang setiap saat bisa kambuh.Â
Baru setelah diumumkan kalau Koteka dapat jatah booth, saya mulai kelimpungan karena bingung apa yang harus ditampilkan dalam booth. Untunglah ada beberapa koleksi foto hasil jepretan pribadi, ditambah beberapa dari Mas Nanang yang bisa saya cetak untuk dipamerkan.
Hari Jumat siang saya nyaris tidak berangkat karena ada acara besar di kantor. Untung suasana sedang riuh sehingga saya bisa 'melarikan diri' bersama teman untuk mengambil mobil di rumah. Setiba di rumah, ternyata anak tengah yang ingin ikut belum pulang sekolah, terpaksa harus menunggu hingga menjelang asar baru sampai.Â
Setelah sholat Asar, kami berangkat untuk menghindari kemacetan parah di tol mengingat hari Jumat sore merupakan harinya rendezvouz bagi orang Jakarta untuk hang out ke Bandung dan sekitarnya yang membuat macet jalan tol yang sedang dalam pembangunan jalan bertingkat.
Panasnya kuah membuat perut mengeluarkan angin, pertanda saya harus ke toilet untuk mengeluarkan isi perut yang telah berubah bentuk. Maklum, saya punya penyakit kembung sehingga gampang sekali masuk angin. Setelah minum Tolak Angin, saya langsung menuju toilet untuk BAB sekaligus mengeluarkan angin barang sejenak.
Sekitar setengah jam istirahat, perjalanan lanjut menuju kota Solo sebagai tempat persinggahan pertama. Sebenarnya bisa saja lanjut hingga ke Malang, namun karena faktor usia terpaksa saya harus transit untuk menghemat tenaga. Perjalanan cukup lancar mulai dari tol Cirebon hingga ke Brexit, dilanjutkan dengan jalur pantura yang ramai dengan truk dan bus.Â
Sampai di Semarang, kami kembali masuk jalan tol hingga keluar Salatiga. Sayang karena sudah larut malam gunung Merapi yang jadi latar belakang gerbang tol Salatiga tak nampak berganti awan hitam kelam menyelimuti gunung.Â
Tak ada halangan berarti hingga tiba di Solo pukul dua malam. Sebelum tidur, saya kembali mengkonsumsi Tolak Angin agar tidur pulas dan angin cepat berlalu dari tubuh.
Jalan tol ini tampak sepi, jarang sekali pengguna, mungkin karena baru sepotong sehingga orang malas membuang uang 20 Ribu Rupiah hanya untuk menghemat setengah jam saja.Â
Setelah keluar Sragen jalan menyempit hingga Ngawi melalui hutan jati Mantingan yang terkenal sebagai tempat hilangnya gubernur Suryo pada masa perang kemerdekaan lalu.
Setelah itu lagi-lagi kembali ke jalan biasa melalui Nganjuk hingga Kertosono sebelum kembali masuk jalan tol di daerah Bandar. Seperti di jalur Solo-Sragen, jalan tol Kertosono-Surabaya juga tampak sepi, jarang sekali kendaraan lewat, mungkin karena mahal dan belum terlalu penting untuk mengejar selisih waktu sehingga orang malas lewat jalan tol.
Suasana rest area juga sepi, hanya ada satu toko serba ada dan satu restoran yang buka, selebihnya masih tutup. Hanya ada dua mobil saja yang istirahat selain kami. Jalan tol sepertinya belum menjadi kebutuhan pengendara roda empat di Jatim kecuali saat lebaran saja.
Di sini jalan tol baru terasa padat dan macet di beberapa titik hingga keluar tol dekat Lapindo. Kami masuk tol di Japanan dekat perempatan Porong arah ke Gempol, lalu perjalanan diteruskan hingga keluar di Pandaan.
Selanjutnya lancar hingga Singosari kembali padat merayap karena ada kegiatan pasar yang membuat angkot ngantri penumpang di depannya. Lepas pasar arus lalin lancar hingga masuk kota Malang sekitar pukul setengah empat sore.
Namun drama belum berakhir karena ternyata boothnya tanpa sekat sehingga saya bingung hendak menempatkan gambar tanpa ada pegangan. Untunglah ada mas Teguh Hariawan yang berbaik hati meminjamkan tenda lipat yang disulap jadi papan templok buat gambar walau harus mengambil sendiri di Prigen, sekitar satu jam perjalanan dari Malang.
Sekitar jam sepuluh malam saya tiba di rumah pak Teguh untuk mengambil tenda lipat, dan jam setengah 12 malam tiba kembali di Taman Krida Budaya untuk memasang tenda sebagai pijakan gambar yang akan dipamerkan.
Ada sekitar 15 orang yang dapat door prize tersebut, disamping lomba tweet/insta story terhadap foto yang dipamerkan. Kelelahan mengemudi dari Jakarta hingga Malang terbayar sudah dengan ramainya pengunjung, total sekitar 70 orang yang mengisi buku tamu walau harus berbagi dengan komunitas Kutubuku yang dikomandani pak Thamrin Sonata.
Sorenya kami berangkat menuju Jakarta dengan harapan tiba sekitar pukul satu malam. Ternyata di Semarang macet total karena ada kecelakaan sehingga harus menunggu tiga jam hingga selesai evakuasi korban dan truk penabraknya.Â
Akhirnya kami tiba di Jakarta pukul empat pagi setelah menempuh perjalanan sejauh 2036 Km selama empat hari. Terima kasih Tolak Angin yang selalu setia menemani perjalanan saya dan membuat perut saya lega sepanjang perjalanan hingga kembali ke Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H