Malam itu, saya baru tiba di Makassar dari Jakarta menjelang tengah malam. Hampir semua warung tutup, termasuk coto dan sop konro yang merupakan kuliner khas Makassar. Kawan yang menjemput akhirnya mengajak saya untuk menikmati mie khas Makassar karena hanya warung itulah satu-satunya yang masih buka tengah malam.
Sebagai penggemar berat kuliner, saya tentu penasaran mengingat baru kali ini saya mendengar ada kuliner mie khas Makassar. Kuliner Makassar identik dengan sop konro yang merupakan tulang iga sapi, atau coto Makassar dengan ketupatnya. Tak sampai setengah dari bandara, kami tiba di warung makan mie tersebut.
Di Makassar pun ternyata demikian, Mie Awa berawal dari warung yang didirikan oleh seorang keturunan Tiongkok bernama Angko Chao yang kemudian dilanjutkan oleh keturunannya yang bernama Awa. Pak Awa inilah yang mempopulerkan nama Mie Awa seperti yang saya makan sekarang dan sudah menginjak generasi kedua.
Mienya digoreng sampai kering berwarna kecoklatan disajikan dalam satu piring, sementara mangkok satu lagi berisi kuah kental yang dibuat dari campuran tapioka, jadi agak lengket di tangan, ditambah lauk berupa daun sawi, potongan daging ayam, dan bakso. Kuahnya mirip seperti mie celor dari Palembang.
Ukuran porsinya pas buat satu orang, tidak terlalu berlebihan seperti mie akung yang menyisakan banyak mie dan lauknya. Jadi kalau di malam hari kelaparan dan warung lain sudah pada tutup, datang saja ke Mie Awa karena jam bukanya hingga pukul 24.00 malam hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H