Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kegagalan Jerman (Bukan) karena Kutukan Juara Dunia

27 Juni 2018   23:50 Diperbarui: 28 Juni 2018   01:07 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan saya beberapa waktu lalu benar-benar membuktikan bahwa Jerman sudah kehilangan ciri khas staying power-nya. Memang saat lawan Swedia semangat tersebut sempat muncul, namun malam ini Jerman kembali kehilangan nyawa seperti saat melawan Meksiko pada laga pertama. 

Nyaris tidak ada serangan yang membahayakan, padahal Swedia sudah berusaha menolong dengan kemenangan telak 3-0 atas Meksiko.

Jujur, saya gemas melihat Jerman hanya kutak kutik bola tanpa ancaman berarti ke gawang Korea. Pemain cuma umpan bola kiri kanan depan belakang tanpa ada upaya untuk mencetak gol. Benar-benar tontonan membosankan dan membuang waktu saja.

* * * *

Dari dulu, permainan Jerman memang tidak pernah enak untuk ditonton. Cara mainnya seperti baca buku, terlalu mengandalkan possesion ball dengan permainan dari kaki ke kaki. Nyaris tidak ada kreativitas seperti Brasil atau kecepatan seperti Inggris. 

Beruntung zaman itu ada Matthaeus yang terkenal dengan tendangan geledeknya yang mencapai 160 km/jam, Klinsmann yang jago sprint hingga 11 detik per 100 meter, atau Klose dengan kepala batunya yang membuatnya nangkring di puncak pencetak gol terbanyak piala dunia sepanjang masa.

Di belakang, ada legenda Beckenbauer yang menjaga pertahanan, Breitner si anjing pengawal ketat Cruyff, atau Brehme dengan tackle mautnya. 

Selain itu masih ada Ziege yang mampu mengejar bola dari belakang hingga ke garis depan. Di garis gawang sendiri dikawal oleh si laba-laba Maier yang dilanjutkan oleh Schumacher dan Oli Kahn yang tegar mengawal gawang dari gempuran lawan.

Permainan Jerman nyaris tidak pernah berubah sejak saya kecil jaman Rummenigge hingga dipimpin oleh Neuer. Possesion football dan umpan pendek dari kaki ke kaki menjadi ciri khas yang akhirnya justru membuat lawan mudah membaca sekaligus mematahkan serangannya. 

Cukup keroyokan di depan gawang, lalu ciptakan serangan balik, selesai sudah urusan. Hampir semua gol yang bersarang di gawang Jerman terjadi akibat kecerobohan bek yang tidak fokus menjaga lawan.

Permainan yang sudah terbaca tersebut tidak segera diubah polanya, malah terkesan dibiarkan oleh Loew tanpa ada variasi serangan. Serangan hanya mengandalkan sayap kiri dan kanan, lalu angkat ke tengah dengan harapan ada kepala nongol jadi gol. 

Tidak ada kreativitas pemain tengah seperti Ozil atau Kross untuk melancarkan tembakan jarak jauh seperti Matthaeus. Timo Werner sebagai ujung tombak tidak mampu berbuat apa-apa, larinya tidak sekencang Klinsmann, kepalanya lembek tidak seperti Klose, kakinya juga lemah tidak seperti Rummenigge.

Thomas Mueller juga seperti keberatan beban saudara semarganya Gerd Mueller yang berhasil mengharumkan nama Jerman di Piala Dunia 1970-1974. Nomor boleh disamakan, tapi prestasi masih ketinggalan. Mats Hummel tidak segarang Kohler si tukang jagal, beberapa kali luput mengawal pemain Korea yang lolos dari perangkap.

Kreativitas individulah yang sebenarnya menolong Jerman di masa lalu walau harus bermain dengan pola itu-itu saja. Sekarang ini sudah tidak tampak lagi kreativitas itu di timnas Jerman. 

Reus atau Khedira tidak berani melancarkan roket seperti Matthaeus atau Ballack. Hector selalu kalah lari dari penyerang Korea, tidak seperti Brehme atau Ziege yang sigap menangkal serangan sekaligus melancarkan serangan balik mematikan ke gawang lawan.

Selamat jalan Jerman, kalian memang belum pantas untuk melaju, bukan sekedar kutukan juara dunia semata, tapi miskin kreativitaslah yang membunuh peluang lanjut ke babak kedua. 

Semoga pelatih berikutnya bisa mengubah pola permainan yang membosankan menjadi lebih atraktif dan menarik untuk ditonton seperti tim-tim dari Amerika Latin. Ingat, jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda, biarlah Jerman merenungi nasibnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun