Belgia dan Belanda ibarat saudara kembar namun beda nasib. Uniknya kedua saudara ini lebih sering saling bergantian ikut piala dunia ketimbang tampil bareng pada ajang yang sama.Â
Ketika dekade 70-an Belanda berjaya, Belgia malah terpuruk, sebaliknya dekade 80-an giliran Belgia masuk piala dunia, Belanda malah tenggelam. Dekade 90-an kompak bersama-sama ikut piala dunia, namun dekade 2000-an saling bergantian, 2002 Belgia lolos, 2006-2010 giliran Belanda yang lolos. Empat tahun lalu kembali bareng, lalu tahun ini kembali hanya Belgia yang lolos.
Dekade 80-an merupakan tahun keemasan Belgia, dimana mereka berhasil menjadi runner-up Piala Eropa 1980 di Italia dan juara keempat Piala Dunia 1986 di Meksiko. Saat itu pertahanan Belgia dikenal sangat kokoh dengan tembok terakhir digawangi oleh Jean Marie Pfaff yang dikenal sebagai kiper flamboyan.Â
Lalu di depannya ada duet Eric Gerets dan Georges Grun yang selalu sigap menahan gempuran lawan. Di lapangan tengah ada legenda Enzo Scifo yang merupakan peranakan Italia dan kapten Jan Ceulemans, dan di depan Erwin van den Bergh siap memangsa gawang lawan.
Namun masa keemasan tersebut mulai redup sejak Piala Dunia 1990 yang hanya berhenti di 16 besar saja hingga 2002. Bahkan setelah 2002 dua kali Belgia gagal lolos ke piala dunia. Mereka baru tampil kembali empat tahun lalu di Brasil dengan prestasi lumayan, menjadi juara grup H dengan tiga kali kemenangan atas Rusia, Aljazair, dan Korea Selatan, lalu mengalahkan Amerika Serikat di babak kedua, sebelum terhenti di perempat final oleh Argentina melalui gol Higuain di menit ke-8 babak pertama.
Dengan bermodalkan tim yang hampir sama di Piala Dunia 2014, Belgia kembali lolos ke Piala Dunia 2018 setelah menjadi juara grup H kualifikasi zona Eropa dengan sembilan kemenangan dan satu kali seri saja. Lukaku menjadi top skor di babak kualifikasi dengan koleksi 11 gol. Sementara saudara kembarnya Belanda justru gagal lolos setelah kalah selisih gol dari Swedia yang berada di peringkat kedua di bawah Perancis sebagai juara grup.
Melihat penampilan Belgia di dua pertandingan awal, tampak sekali aroma total football yang diperagakan Eden Hazard dan kawan-kawan. Hazard benar-benar menjadi hazardous bagi lawan dengan Lukaku yang tampil garang melukai gawang Panama dan Tunisia masing-masing dua gol.Â
Dari perhitungan statistik di dua pertandingan awal, tampak Belgia lebih dominan daripada lawan dengan permainan terbukanya. Melawan Panama, Belgia menguasai 62% bola dan 15 tembakan ke gawang.Â
Lalu melawan Tunisia, Belgia agak mengendor penguasaan bolanya hanya 49%, tetapi tembakan ke gawang meningkat jadi 23 kali percobaan dengan 12 mengarah tepat sasaran. Permainan terbuka Belgia membuat pertandingan lebih enak ditonton karena mereka tetap menyerang walau sudah unggul telak.
Namun permainan total football bukan tanpa kelemahan. Terbukti Tunisia berhasil menguasai 51% lapangan dan melakukan 16 tembakan dengan dua gol merobek gawang Belgia akibat kelemahan bek yang kurang fokus menjaga lawan.Â
Hal ini sangat jauh berbeda dengan seniornya yang justru kuat di pertahanan ketimbang menyerang. Akibatnya banyak gol tercipta di dua pertandingan awal Belgia, walaupun di sisi lain jumlah gol yang banyak menunjukkan permainan sepak bola kembali pada khittahnya seperti pada piala dunia dekade 50-an dimana rata-rata tercipta 3,5 gol per pertandingan.
Kehadiran Belgia bersama Rusia membuat Piala Dunia 2018 lebih atraktif dengan jumlah gol besar di tiap pertandingan dibanding tim lain yang pelit mencetak gol. Tim-tim lain cenderung bermain lebih hati-hati dan bertahan setelah menang selisih gol sehingga pertandingan menjadi tidak menarik untuk ditonton.Â
Semoga mereka berdua konsisten hingga bertemu di final dan menciptakan juara dunia baru. Ingat, jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda saat mendukung timnas Belgia menjadi calon juara berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H