Sejujurnya saya agak kaget mendengar Garuda terus merugi dari tahun ke tahun. Sudah itu menjelang lebaran kemarin para pilotnya mengancam mogok pula.
Untunglah ancaman tersebut tidak terjadi dan nyatanya Garuda tetap terbang dengan selamat mengantarkan para penumpang mudik dan balik.
Sebagai pelanggan tetap Garuda, sejak bekerja di pusat, rasanya saya belum pernah menemukan kursi Garuda kurang dari 80% load factor-nya.
Lihat saja kalau hari kerja, penumpangnya didominasi seragam putih, atau kalau malu-malu dibungkus jaket atau rompi, atau pakai baju batik agar tidak terlalu mencolok.
Paling-paling kecelakaan minor seperti terpeleset dari landasan atau ban pecah yang tidak terlalu mengganggu stabilitas keuangan.
Jadi cukup aneh bila terus menerus rugi, kecuali ada kebijakan pemerintah melarang pegawainya naik Garuda.
Pertama, pesawat MH-370 menghilang tanpa jejak di udara setelah lepas landas dari bandara KLIA menuju Beijing dengan membawa 230 orang termasuk awak dan penumpang. Ditambah hingga saat ini kehilangan tersebut masih misteri, hasil investigasi terakhir menyatakan kemungkinan pilotnya melakukan kamikaze alias bunuh diri.
Kedua, selang beberapa bulan kemudian MH-17 dari Amsterdam menuju KLIA dihajar rudal pemberontak Krimea di atas langit Ukraina, kabar terakhir ternyata rudal dimiliki oleh salah satu brigade Rusia (sumber di sini).
Kejadian itu berdampak dengan tewasnya penumpang dan awak yang berjumlah 298 orang, dan bangkai pesawatnya bertebaran di Torez, tak jauh dari kota Donetsk, Ukraina.
Kedua musibah dalam waktu hampir bersamaan tentu membuat limbung Malaysia Airlines, bukan hanya sekedar kehilangan pesawat tapi juga harus menyelesaikan urusan dengan para penumpangnya, walau tentu sudah di-cover sebagian lewat asuransi.
Namun hebatnya, dalam kurun waktu empat tahun terakhir ini, Malaysia Airlines kembali bangkit dengan bendera baru Malaysia Airlines Berhad di bawah kendali Khazanah Nasional yang merupakan grup BUMN terbesar di Malaysia.
1. Sempat Menggunakan CEO Asing
Untuk mengejar ketertinggalan akibat musibah beruntun tadi, MAB merekrut Christoph Mueller yang telah berpengalaman di dunia penerbangan selama lebih dari 20 tahun sebagai CEO.
Namun hanya setahun bertahan, Mueller diganti koleganya yang juga ikut bersamanya membangun MAB, Peter Bellew yang berasal dari Irlandia.
Di tangan Bellew Malaysia Airlines berubah total menjadi perusahaan yang mulai memperoleh keuntungan dari awalnya yang selalu merugi.
Memang penggunaan CEO asing juga sempat ditentang oleh kalangan tertentu di Malaysia, namun seiring dengan majunya perusahaan, konflik tersebut reda dengan sendirinya.
Sayangnya Bellew hanya bertahan satu setengah tahun sebelum digantikan oleh orang lokal yang juga mantan direksi MAS.
2. Harga tiket murah
Sejak ditangani Bellew dan penerusnya, harga tiket Malaysia Airlines terutama saat promo memang benar-benar murah, bahkan lebih murah dari Air Asia atau low budget carrier lainnya.
Padahal fasilitas yang diberikan tetap sama, ada makanan, hiburan dalam pesawat dan bagasi gratis hingga 20 kg, bahkan sekarang ditingkatkan menjadi 30 kg.
Sebagai perbandingan, Jakarta - KL PP bisa dibawah Satu Juta Rupiah, sementara Garuda saja baru sekali jalan.Â
Padahal dengan jarak yang sama, misal Jakarta - Semarang atau Jakarta - Jogja, Garuda belum pernah menjual tiket di bawah 500 Ribu Rupiah.
Ini tentu sebuah ironi mengingat load factor Malaysia Airlines masih sekitar 77% tahun 2017, jauh di bawah Garuda yang masih di atas 80%. Saya sendiri pernah naik dari Langkawi ke KL pesawatnya hanya terisi sekitar 60% saja.
3. Fasilitas Premium
Walau berani menjual harga tiket murah, namun fasilitasnya tidak murahan. Untuk penerbangan jarak menengah dan jarak jauh, makanannya cukup lengkap, mulai dari nasi lemak, kacang garing, buah, hingga minuman, hampir sama dengan Garuda.
Keunggulannya di fasilitas hiburan, selain menunya lebih variatif, juga terdapat colokan USB buat mengisi baterai hape yang tidak ada di pesawat Garuda.
Kadang-kadang bagasinya juga lebih banyak, 30 kg dibanding Garuda cuma 20 kg. Saat ini bahkan Garuda sudah menghilangkan tisu basah dan permen di dalam pesawat, padahal dulu selalu tersedia.
Kita tidak perlu takut menggunakan CEO asing asal memang benar-benar berpengalaman dan tahu apa yang harus dilakukan.
Selain itu perlu adanya efisiensi seperti yang dilakukan MAS dengan mengurangi jumlah karyawan hingga 6000 orang walau sempat menimbulkan gejolak.
Kita tidak usah malu belajar dari negeri tetangga, toh mereka juga dulu banyak belajar dari kita dan sekarang ilmunya malah dipakai di negerinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H