Saat pertama kali ditugaskan ke Kota Sorong, hal pertama yang menjadi pertanyaan adalah dimana tempat sholat Jumat yang lumayan besar.Â
Dalam bayangan saya, jumlah masjid yang bagus mesti tidak banyak mengingat umat Islam bukanlah mayoritas di Papua dan Papua Barat. Saya punya perbandingan ketika bertugas di NTT, betapa sulitnya mencari masjid apalagi di daerah pedalaman. Di kota Kupang sendiri jumlah masjid tidak terlalu banyak dan tidak ada masjid besar seperti di Jawa.
Namun selepas mendarat di Bandara Sorong dan berangkat menuju hotel, pandangan saya mulai berubah. Menurut supir yang mengantar saya, Kota Sorong termasuk heterogen, tidak hanya mayoritas orang Papua saja.Â
Di kota ini banyak suku tinggal, mulai dari Ternate yang terdekat, lalu Bugis, Makassar, Bajo, hingga suku Jawa ada di sini. Kalau orang Sulawesi dan Ternate merupakan pelaut ulung, maka orang Jawa kebanyakan adalah transmigran yang sudah menetap lama dan beranak pinak di kota tersebut.
Tidak heran kalau di Sorong ternyata tidak terlalu sulit menemukan masjid karena sebagian besar pendatang rata-rata beragama Islam. Di sini ternyata juga ada masjid besar yang bisa menampung lebih dari seribu jamaah bernama Masjid Raya Al Akbar. Dari pemberian namanya saja sudah menjelaskan betapa besarnya masjid ini.Â
Masjid ini terletak di tepi jalan Ahmad Yani yang merupakan jalan utama di Kota Sorong sehingga langsung terlihat dari kendaraan yang saya tumpangi. Usianya relatif masih muda, baru sekitar 18 tahun berdiri namun sudah menjadi salah satu ikon di Kota Sorong.
![Kubah Berbentuk Segilima (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/15/dscn2013-jpg-5b23e14bbde575029e7d2422.jpg?t=o&v=770)
Kubahnya sendiri walaupun tampak bulat di luar namun ternyata dari dalam membentuk segi lima. Masjid ini juga dilengkapi dua buah menara yang letaknya sejajar di bagian belakang sebelah kiri dan kanan.Â
Di dalam kompleks masjid juga terdapat aula atau convention center dan fasilitas lain seperti sekolah dan poliklinik yang leta
knya terpisah dari bangunan masjid.
![Tempat Imam dan Mimbar Khutbah/Mihrab (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/15/dscn2019-jpg-5b23e229dd0fa87426037712.jpg?t=o&v=770)
Waktu sholat Jumat di sini sekitar pukul 12.20 siang, jadi saat saya datang jam 11.50 suasana masjid masih tidak terlalu ramai. Baru menjelang azan, satu per satu umat muslim mendatangi masjid hingga tampak penuh sesak. Benar saja, parkiran masjid penuh saat khatib mulai naik mimbar menyampaikan khotbah Jumat.
![Khatib Sedang Berkhutbah (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/15/dscn2026-jpg-5b23e400cf01b420541f8c72.jpg?t=o&v=770)
Bhinneka Tunggal Ika tampak sekali di dalam masjid ini dan mereka berbaur satu sama lain tanpa melihat asal sukunya masing-masing. Materi khutbahnya pun adem, menyangkut keimanan dan ketaqwaan pada Sang Pencipta, tidak terkait dengan urusan politik atau pilkada.
Sejuk rasanya sholat Jumat di masjid tersebut. Tidak ada rasa khawatir akan kejadian separatisme yang masih menjadi bahaya laten di Papua. Menurut warga setempat, Sorong termasuk kota yang paling aman di antara daerah lain di Papua.Â
Benar juga kata supir tadi, karena masyarakatnya heterogen, paham separatisme sulit masuk ke daerah Sorong, apalagi di wilayah kabupaten banyak dihuni oleh para transmigran yang sudah sukses secara ekonomi, bahkan wakil bupati Sorong saat ini dijabat oleh suku Jawa.
![Bandara DEO (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/15/img-20170720-072549-5b23e279bde575301a118ab4.jpg?t=o&v=770)
Untunglah karena jaraknya tidak jauh dan tidak ada kemacetan seperti di Jakarta, waktu tempuhnya hanya sekitar lima belas menit sudah sampai di bandara. Suasana masih sepi karena pesawat baru terbang jam setengah tiga, sementara penumpang lain baru berdatangan pukul dua kurang seperempat.
Ternyata saya mengalami delay hingga jam setengah enam sore karena kondisi cuaca sedang hujan badai sehingga pesawat dari Manokwari ditunda keberangkatannya.Â
Hati agak sedikit cemas karena harus pindah pesawat di Makassar dan jadwalnya berangkat jam enam sore. Untunglah pesawat di Makassar juga ikut di delay menunggu pesawat yang kami tumpangi. Selamat sudah saya tiba kembali di Jakarta tanpa harus menginap seperti kejadian di Batam dulu.
Tulisan Lain tentang Papua:
- Gagal ke Raja Ampat Malah Terdampar di Pantai Melbourne
- Cantiknya Buaya di Lepas Pantai Papua
- Mengintip Daleman Rumah Honai di Wamena
- Mengintip Persiapan Sail Raja Ampat
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI