Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Benarkah Indonesia Royal Memberi Hak Cuti?

8 Mei 2018   10:16 Diperbarui: 8 Mei 2018   12:25 2057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (Think Stock Photo)

Ribut-ribut soal cuti lebaran sampai sempat memaksa kementeriannya bu Puan Maharani meninjau kembali. Dan, membuat saya penasaran. Seberapa royalkah negara-negara di Asian termasuk Indonesia memberikan hak cuti.

Setelah googling, ketemulah saya pada halaman ini yang mencoba membuat daftar jumlah hari cuti yang diperbolehkan masih menerima gaji atau pembayaran.

Dari tabel yang dirilis Wiki di halaman tersebut, tampak bahwa negara-negara di Asia rata-rata memang 'pelit memberikan cuti.

Misal, Tiongkok, yang hanya memberikan jatah lima hari cuti untuk karyawan dengan masa kerja kurang dari 10 tahun, 10 hari untuk masa kerja 10 - 20 tahun, dan 16 hari untuk masa kerja lebih dari 20 tahun. 

Namun di Tiongkok terdapat 11 hari libur nasional di luar jatah cuti, jadi totalnya antara 16-27 hari cuti tergantung masa kerja pegawai.

Demikian pula Jepang yang hanya memberi jatah cuti 10 hari, dan hari libur nasional tidak boleh dihitung gajinya.

Di lingkungan ASEAN, di Malaysia juga berlaku 8 hari cuti untuk pegawai kurang dari 2 tahun masa kerja, 12 hari untuk 2-5 tahun, dan 16 hari untuk di atas 5 tahun masa kerja, di luar hari libur nasional yang berjumlah 19 hari kalender. 

Singapura 7-14 hari (11 hari libur nasional), Thai 6-12 hari (13 hari libur nasional), lainnya rata-rata hampir sama. Jadi jatah cuti di Indonesia termasuk lumayan, 12 hari kerja ditambah cuti bersama (tahun 2018 berjumlah 7 hari) di luar hari libur nasional yang berjumlah 16 hari kalender, artinya tcukup royal dibanding selimut tetangga.

Namun di negara maju, rata-rata jumlah cuti berkisar antara 20-22 hari kerja, bahkan di Inggris Raya bisa mencapai 28 hari kerja, di luar hari libur nasional yang berkisar antara 9-15 hari kalender. Pun di beberapa negara Afrika dan Timur Tengah memberlakukan kebijakan cuti sekitar 20-22 hari kerja.

Di benua Amerika cenderung bervariasi tergantung kebijakan negara masing-masing, ada yang menganut 14-21 hari kalender seperti Argentina, ada yang tergantung provinsi seperti Kanada dengan rata-rata hari cuti sekitar tiga minggu kalender.

Perbedaan jumlah hari cuti tersebut juga tergantung pada jenis industri yang dilakoni, dan bagaimana mengelola keseimbangan antara bekerja dengan menikmati hidup.

Jadi wajarlah kalau banyak backpacker asal negeri bule yang bertebaran dalam waktu lama karena memang jatah cutinya cukup panjang, ditambah hari nonkerja. Jadi kalau ditotal bisa sebulan penuh mereka berlibur. Liburan yang cukup membuat tubuh menjadi segar dan siap menghadapi tantangan baru.

Kembali ke persoalan cuti bersama, saya kira tidak ada salahnya dalam setahun ada waktu jeda antara 7-10 hari libur tidak hanya untuk merayakan hari lebaran saja, tapi juga untuk menyeimbangkan pola hidup yang terlalu fokus pada pekerjaan agar bisa menikmati hidup barang sejenak. 

Bagi pengusaha juga jangan hanya memikirkan keuntungan riil semata, tapi juga keuntungan lain karena mesin-mesin industri bisa beristirahat sejenak, serta memaksa karyawan untuk berlibur guna mengurangi tingkat stres akibat waktu kerja (termasuk pulang-pergi kantor) yang berlebihan. 

Saya khawatir polarisasi yang terjadi belakangan ini disebabkan oleh kurangnya berlibur dan terlalu banyak hari kerja sehingga menimbulkan stres yang berlebihan.

Kelebihan stres disalurkan dengan mem-bully di medsos atau mengenakan kaos entah #gantipresiden atau #diapunyakerja, atau memasang spanduk meraih kenangan yang belum bisa dimiliki.

Sebaiknya, salurkan stres dengan berlibur sambil mengenal hal-hal baru di belahan bumi lain ketimbang ngemeng ngalor ngidul ngga jelas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun