Pemerintah saat ini telah menetapkan Danau Toba sebagai salah satu dari 10 destinasi wisata prioritas Indonesia yang perlu digarap secara khusus untuk 'dijual' baik pada wisatawan domestik maupun internasional. Keseriusan pemerintah diperkuat dengan pembentukan Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba melalui Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2016.Â
Lalu pemerintah memodernisasi Bandara Silangit yang jaraknya lebih dekat ke Danau Toba daripada Bandara Kualanamu. Ada pula pembangunan jalan tol Medan-Kualanamu-Tebingtinggi yang akan disambung menuju Pematang Siantar dan Simalungun.
Selebihnya masih seperti sediakala, paling tidak saat saya berkunjung dua tahun lalu belum tampak ada perubahan signifikan. Ke(tidak)siapan Danau Toba untuk 'go international' tampak dari hal-hal sebagai berikut:
Hampir semua papan petunjuk, tulisan, dan sejenisnya masih hanya menggunakan Bahasa Indonesia. Hanya beberapa saja yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris seperti di makam tua Sidabutar dan petunjuk geopark Danau Toba. Selebihnya masih menggunakan Bahasa Indonesia, dan sebagian juga dalam bahasa lokal.Â
Padahal untuk go international minimal harus ada dua bahasa yang digunakan yaitu Bahasa Inggris dan bahasa negara setempat. Bahkan di Laospun sampai tiga bahasa, termasuk Inggris dan Perancis.
Kalau kita ke luar negeri, begitu turun dari kapal atau perhentian kita langsung menemukan petunjuk arah hendak kemana tujuan kita. Di Danau Toba, mulai dari pelabuhan ferry saja tidak jelas dimana letaknya. Kalau tidak ikut rombongan mungkin saya tidak tahu harus naik dari titik mana.Â
Sampai di pelabuhan ferry Tomok, juga tidak ada petunjuk dimana saja ada situs-situs wisata yang dekat dengan pelabuhan. Kalaupun ada kita harus mencari-cari terlebih dahulu, posisinya tidak eye catching alias terlihat begitu turun dari pelabuhan. Hanya ada peta wisata Danau Toba yang bersifat umum, namun tidak diperjelas per wilayah atau desa.
Di negeri jiran, hampir setiap bangunan bersejarah di bagian depan ada prasasti yang menceritakan sejarah singkat bangunan tersebut. Hal ini sudah ditiru di situs Muaro Jambi, namun belum tampak di sekitar Desa Tomok, kecuali di makam Sidabutar saja yang sudah dilengkapi papan petunjuk.Â
Kalaupun luput dari mata saya, pasti posisinya (lagi-lagi) tidak eye catching alias terlihat saat sedang berkeliling  seperti di perkampungan adat Desa Pasaoran. Padahal cerita sejarah walau singkat penting untuk diketahui pengunjung. Kita hanya bisa bertanya kepada pemangku adat di sana mengenai cerita sejarah perkampungan tersebut.
Hotel dan penginapan di daerah Parapat maupun Toba tampak semakin menua seiring dengan usianya, dan belum tampak ada tanda-tanda untuk direnovasi. Hal in jauh berbeda dengan Bali atau Lombok yang terlihat tampak modern dan menampilkan dua bahasa sebagai petunjuknya. Kami memilih untuk menginap di Medan karena melihat suasana penginapan yang kurang representatif untuk tamu.
Fasilitas pelabuhan ferry  masih belum ditata rapi dan tampak seperti sediakala. Demikian pula pelabuhan penyeberangan speed boat hanya sedikit dipoles tampilan luarnya saja. Kalau orang baru pertama kali mungkin agak kaget karena lokasinya lebih tepat disebut lapangan daripada pelabuhan. Transportasi daratnya juga masih menggunakan elf atau sewa bentor untuk keliling pulau, belum ada angkutan khusus untuk wisatawan.
* * * *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H