Zaman dahulu bendungan Riam Kanan merupakan salah satu ikon orde baru yang menjadi pemasok listrik PLTA Pangeran M. Noor untuk menerangi seluruh Kalimantan bagian Selatan. Namun seiring waktu, keberadaan bendungan atau waduk tersebut mulai dilupakan orang, dan tidak lagi tertata rapi layaknya sebuah obyek wisata. Debit airnyapun sudah tak mampu lagi sepenuhnya melayani turbin PLTA untuk memasok listrik seperti sediakala.
Gerbang PLTA PM Noer (Dokpri)
Saya berkesempatan mengunjungi salah satu tepian bendungan Riam Kanan dari arah Banjarbaru yaitu Desa Aranio yang merupakan "pelabuhan" kapal penangkap ikan dan kapal pengantar penumpang ke seberang danau. Kebetulan saat itu sedang menanti terbang sore hari dan objek wisata terdekat bandara selain pasar Martapura adalah bendungan Riam Kanan yang berjarak sekitar 30 km ditempuh selama satu jam perjalanan.Â
Dinding Waduk Riam Kanan (Dokpri)
Kondisi jalan dari Banjarbaru menuju Desa Aranio tidak terlalu mulus walau tidak terlalu jelek juga. Banyak truk pengangkut tanah atau hasil tambang lalu lalang mempercepat kerusakan permukaan jalan. Sampai di ujung jalan, tidak ada tanda-tanda bahwa bendungan tersebut merupakan obyek wisata. Hanya ada beberapa warung yang bentuknya seperti distributor untuk mendistribusikan barang ke wilayah di seberang bendungan.
Waduk Saat Pasang (Dokpri)
Bendungan atau waduknya sendiri tampaknya cukup luas dan lebih mudah menjangkau desa di seberang dengan menggunakan perahu ketimbang lewat jalan darat yang rusak. Di bibir danau tepat di bawah warung terdapat pelabuhan kecil tempat perahu merapat. Saya ditawarkan untuk wisata keliling waduk dengan ongkos sekitar 400 ribu Rupiah, namun saya tolak karena terlalu mahal untuk dua orang. Lebih tepat memang berombongan minimal 10 orang karena sewa perahunya dihitung borongan bukan perorangan.
Perkampungan di Sekitar Waduk (Dokpri)
Karena tidak menyeberang, saya hanya berjalan-jalan sejenak di sekitar pelabuhan untuk kemudian menyeduh kopi panas sambil menikmati pemandangan danau. Kebetulan saat itu sedang pasang sehingga banyak perahu bisa bersandar di tepi bendungan. Kalau tiba saat surut, perahu tidak bisa bersandar sehingga penumpang harus berjalan kaki lumayan jauh menuju tepian waduk. Surutnya air ikut mempengaruhi pasokan listrik yang semakin sering
byar pet di
Kalsel. Saya sendiri beberapa kali mendengar suara genset menggantikan listrik PLN saat menginap di
Banjarmasin sebelum kembali ke Jakarta.
Pedagang Cilok di Depan Waduk (Dokpri)
Tak terasa hampir satu jam sudah nangkring di warung dekat pelabuhan, saatnya kembali ke bandara Syamsuddin Noor untuk kembali ke Jakarta. Amat disayangkan potensi wisata bendungan Riam Kanan terabaikan begitu saja tidak terurus dengan baik. Padahal konon pemandangan di desa seberang jauh lebih indah dan mempesona. Seandainya ada feri yang mengangkut penumpang perorangan, saya pasti akan beranjak kesana. Sayangnya penumpang perorangan harus menunggu penuh dahulu baru perahunya berangkat. Saya tak mungkin menunggu lama karena harus segera menuju bandara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya