Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

[Jelajah Yangon] Menjajal Circular Train, Menikmati Eksotisme Shwedagon

29 April 2017   13:00 Diperbarui: 29 April 2017   18:46 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Replika Kapal Karaweik di tengah Danau Kandawgyi (Dokpri)

Berhubung masih terjebak festival air seperti telah diceritakan disini, sayapun akhirnya hanya bisa menikmati indahnya kota Yangon dan sekitarnya saja. Mumpung acara siram-siraman belum mulai, pagi-pagi saya menyambangi Pagoda Shwedagon yang merupakan candi terbesar di Yangon. Tidak seperti tempat lain yang masih sepi pukul enam pagi, pagoda Shwedagon sudah dipenuhi para bhiksu  maupun warga yang hendak beribadah. Entah karena takut kena siraman air atau memang ibadah pagi, suasananya mirip seperti umroh, ramai namun tetap khusyuk beribadah.

Jalan Masuk Menuju Pagoda yang Beratap dan Kios di Kedua Sisi (Dokpri)
Jalan Masuk Menuju Pagoda yang Beratap dan Kios di Kedua Sisi (Dokpri)
Dari pintu masuk di bawah menuju puncak stupa kita harus mendaki ratusan tangga namun tetap teduh karena tertutup atap dan di kiri kanannya terdapat kios penjual souvenir dan aksesoris ibadah. Alas kaki harus dicopot, dan menjelang pintu masuk barang bawaan dan kita diperiksa melalui mesin pemindai untuk mengatisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Setiba di pintu masuk atas kita wajib membayar 8000 Kyats (80 Ribu Rupiah) sebagai tanda masuk pagoda, sementara foto bebas tidak dikenai biaya.

Puncak Stupa Pagoda Shwedagon (Dokpri)
Puncak Stupa Pagoda Shwedagon (Dokpri)
Pagodanya sendiri terdiri dari satu stupa besar yang dikelilingi oleh ratusan stupa kecil yang diisi oleh berbagai patung. Di sisi luarnya terdapat beberapa bangunan yang juga difungsikan sebagai tempat ibadah, termasuk patung Buddha tidur. Sementara di setiap sudutnya diberi nama hari dalam seminggu. Pintu masuknya sendiri terdapat di empat penjuru angin yaitu Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Butuh waktu sekitar 1 - 2 jam untuk berkeliling pagoda sambil menikmati eksotisme bangunan di dalamnya.

Warga Berdoa di Salah Satu Sudut Hari Kamis (Dokpri)
Warga Berdoa di Salah Satu Sudut Hari Kamis (Dokpri)
Siangnya, saya menuju stasiun kereta api Yangon Central untuk menjajal kereta Yangon Circular Train. Kereta ini mirip seperti KA Jabodetabek jaman dulu, benar-benar kereta komuter ekonomi yang mengelilingi kota Yangon. Sementara stasiunnya seperti stasiun Kota, berbentuk klasik khas bangunan Eropa abad ke-18. Sayang kondisinya kurang terawat sehingga tampak kusam dan kotor, persis seperti stasiun kereta Senen dahulu kala. Kita benar-benar serasa berada di tahun 70an saat berada di stasiun ini.

Tampak Depan Stasiun Kereta Api Yangon Central (Dokpri)
Tampak Depan Stasiun Kereta Api Yangon Central (Dokpri)
Stasiun ini terdiri atas 7 platform, dan kereta Yangon Circular berada di platform ke 7, sehingga kita harus menyeberang platform dari arah depan stasiun. Sementara bila dari arah pusat kota kita langsung turun dari atas jembatan. Konter tiketnya juga terdapat di platform 7, bukan di pintu masuk stasiun depan karena di situ merupakan konter tiket antar kota. Harga tiketnya sangat murah untuk mengelilingi 38 stasiun, hanya 200 Kyats (2000 Rupiah) saja! untuk perjalanan selama kurang lebih tiga jam mengelilingi kota Yangon.

Rute Kereta Yangon Circular Train (Dokpri)
Rute Kereta Yangon Circular Train (Dokpri)
Keretanya sendiri terdapat dua jenis, yaitu searah jarum jam dan berlawanan arah jarum jam. Saya sendiri naik kereta yang searah jarum jam, dan tepat pukul 10.10 pagi kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun Yangon Central berputar ke arah utara, searah jarum jam kemudian menuju ke selatan, dan kembali lagi ke stasiun Yangon Central. Kondisi gerbongnya seperti kereta ekonomi jaman dulu dengan bangku kayu memanjang. Jendelanya terbuka tanpa kaca dengan penutup seperti krei kayu. Penumpangnya beraneka ragam, dari pelajar, pegawai, pedagang hingga biksu.

Penumpang Berebut Naik Kereta (Dokpri)
Penumpang Berebut Naik Kereta (Dokpri)
Daleman Gerbong Kereta dari Kayu (Dokpri)
Daleman Gerbong Kereta dari Kayu (Dokpri)
Kereta selalu berhenti di setiap stasiun yang bentuknya lebih mirip halte bus untuk menaikturunkan penumpang. Hanya ada dua stasiun besar lain yang dilalui kereta ini yaitu Insein dan Mingaladon. Awalnya semua berjalan aman, jauh dari hiruk pikuk pesta air, namun masuk ke stasiun kelima beberapa orang mulai iseng menyemprotkan air ke dalam kereta. Itu belum seberapa ketika kereta berhenti agak lama di stasiun Insein, selang airpun masuk ke dalam kereta dan menyiram seluruh penumpang termasuk saya. Untungnya tas kamera sudah dilindungi plastik yang saya bawa sehingga tidak ikut basah. Sayangnya momen ini tidak bisa difoto karena takut korsleting baterainya baik kamera maupun hape.

Stasiun Kereta Mirip Halte (Dokpri)
Stasiun Kereta Mirip Halte (Dokpri)
Di stasiun Mingaladon, pedagang sayur mayur mulai membanjiri gerbong dan membuat penuh kereta. Di sini masih tampak suasana perdesaan dengan pemandangan sawah menghijau dan perkampungan penduduk yang kondisinya hampir sama di seantero Asia Tenggara. Di sini pula kita berpapasan dengan Circular Train lain yang berlawanan arah. Lepas dari stasiun, hujan angin mulai menerpa dan krei jendela diturunkan. Namun tetap saja pesta air berlangsung meriah walaupun hujan air sudah membasahi bumi.

Suasana Perdesaan di Pinggiran Yangon (Dokpri)
Suasana Perdesaan di Pinggiran Yangon (Dokpri)
Tak terasa kereta akan memasuki stasiun Yangon setelah tiga jam lebih sepuluh menit perjalanan. Rintik-rintik hujan menemaniku turun dari kereta, dan siang hari ini loket Circular Train penuh dengan antrian turis dan warga lokal karena inilah satu-satunya hiburan yang jalan saat pesta air. Sementara kereta jarak jauh tidak semua beroperasi pada masa liburan tahun baru Myanmar sehingga stasiun tampak sunyi.

Penumpang Bercampur Sayur Mayur (Dokpri)
Penumpang Bercampur Sayur Mayur (Dokpri)
Setelah sempat mampir ke Taman Maha Bandoola yang sedang ada live music merayakan tahun baru, saya buru-buru pulang ke hotel untuk menghindari pesta air yang membahana. Kaos yang saya kenakan sempat basah terkena semprotan water cannon yang dilontarkan beberapa orang di pesta air tersebut. Dan dari sore hingga esok paginya saya hanya mengurung diri di hotel karena takut terjebak pesta air sehingga basah kuyup seperti warga lokal.

Perkampungan Penduduk di Pinggiran Kota (Dokpri)
Perkampungan Penduduk di Pinggiran Kota (Dokpri)
Esok paginya seperti biasa sebelum pesta air dimulai, saya sempatkan berkunjung ke Danau Kandawgyi dimana terdapat perahu Karaweik yang terkenal itu. Suasananya cukup asri, namun sayangnya jalan berbentuk jembatan yang menyusuri danau terbuat dari kayu dan mulai lapuk sehingga harus hati-hati melangkah agar tidak terjatuh ke dalam danau. Danaunya sendiri kurang terawat, terlihat dari banyaknya eceng gondok tumbuh dan sampah bertebaran di sisi danau. Di sebelah selatan danau terdapat Kebun Binatang Yangon, namun masih tutup karena saya datang terlalu pagi sehingga hanya bisa berfoto di luarnya saja.

Replika Kapal Karaweik di tengah Danau Kandawgyi (Dokpri)
Replika Kapal Karaweik di tengah Danau Kandawgyi (Dokpri)
Setelah kembali ke hotel dan sarapan pagi, hujan deras kembali turun pertanda liburan telah usai dan harus segera berkemas kembali ke Jakarta. Siangnya saya ke menuju bandara di tengah hujan deras, tetapi rakyat Yangon masih setia berpesta air di tengah derasnya air dari langit. Tak terasa libur panjangpun usai, dan esoknya kembali bekerja seperti sediakala. Demikianlah cerita ringkas menikmati liburan panjang di luar negeri tanggal 14-16 April lalu, semoga bermanfaat.

Pintu Masuk Kebun Binatang Yangon (Dokpri)
Pintu Masuk Kebun Binatang Yangon (Dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun