Para pemirsa Kompasiana yang lahir semasa Orde Baru atau sebelumnya tentu masih ingat bila pada tanggal 1 Maret TVRI hampir selalu menayangkan film Janur Kuning yang menceritakan heroisme peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 terhadap kedudukan tentara Belanda di Jogjakarta.Â
Sebagai sebuah peristiwa sejarah, serangan itu berdampak pada kepedulian internasional bahwa TNI dan Republik Indonesia secara de facto masih ada walaupun Presiden Soekarno dan Bung Hatta telah diasingkan Belanda saat itu selepas Agresi Militer II bulan Desember 1948.
Pesawat Cureng Eks-Jepang (Dokrpi)
Serangan yang dipimpin oleh Letkol Soeharto (Presiden kedua Indonesia) saat itu berhasil menguasai kota Jogjakarta selama enam jam dan berhasil membuka mata PBB dan negara-negara lain bahwa Indonesia masih eksis walaupun pimpinannya ditawan oleh Belanda. Semangat itulah yang kemudian difilmkan dan ditularkan pada anak muda saat itu.Â
Kenangan akan peristiwa tersebut selain didokumentasikan dalam film, juga dibuatkan sebuah tugu peringatan bernama Monumen Jogja Kembali atau sekarang dikenal dengan singkatan Monjali.
Seragam Tentara Berbagai Negara di Masa Kemerdekaan (Dokpri)
Monjali menjadi salah satu tempat
wisata terkenal di Jogja selain Kraton Kesultanan dan Malioboro serta Candi Borobudur dan Prambanan. Di dalamnya terdapat diorama yang menggambarkan peristiwa sejak Agresi Militer II Belanda di Jogja, Panglima Besar Jenderal Soedirman yang bergerilya, hingga saat serangan umum terjadi.Â
Selain itu terdapat juga benda-benda bersejarah seperti meja kursi yang digunakan dalam perundingan, tandu Jenderal Soedirman, peralatan perang mulai dari pistol hingga meriam yang digunakan baik oleh Belanda maupun TNI saat serangan umum tersebut.
Tampak Depan Monjali (Dokpri)
Bangunannya berbentuk kerucut yang terdiri dari tiga lantai, lantai pertama berisi benda-benda bersejarah, lantai kedua diorama, dan lantai tiga berupa teater tertutup. Sementara di bagian luar terdapat kolam mengelilingi bangunan dan taman yang asri. Namun sejak masa reformasi, semangat serangan umum tersebut mulai pudar. Monjali tak lagi seramai zaman Orde Baru dan tak lagi menarik bagi generasi penerus yang lebih senang nangkring di kedai kopi atau berkeliling dari mal ke mal daripada belajar sejarah bangsa yang penuh makna. Sekarang orang lebih mengenal Monjali sebagai suatu daerah di sebelah barat laut Jogja ketimbang monumennya itu sendiri. Bahkan di hari inipun, tak satupun tulisan tentang Serangan Umum Satu Maret muncul di Kompasiana.
Selasar yang Berubah Jadi Taman Pelangi (Dokpri)
Saat saya berkunjung menjelang akhir tahun lalu, tampak sunyi sekali dan hanya satu dua pengunjung saja, padahal tiket masuknya sangat murah, hanya 10 Ribu Rupiah saja. Di taman hanya terdapat segelintir anak-anak TK yang sedang bermain di taman dengan panduan beberapa orang guru saja. Sungguh miris menyaksikan betapa kesakralan monumen tersebut mulai hilang ditelan arus modernisasi yang ditandai masuknya arena permainan anak-anak di sekeliling monumen. Bahkan meriam yang berada di tengah taman nyaris tenggelam tertutup arena bermain anak yang lebih mendominasi selasar monumen.
Tandu dan Pedati yang Dipakai Jenderal Soedirman Bergerilya (Dokpri)
Memang saat ini di halaman depan dan samping monumen telah berubah fungsi menjadi Taman Pelangi yang berisi permainan anak-anak dan agak ramai dikunjungi terutama pada malam hari. Sementara siang harinya sepi karena arena permainan anak ditutup dan fungsinya kembali menjadi wisata sejarah.Â
Sungguh sangat disayangkan, namun kita juga harus memaklumi karena sebuah monumen memerlukan biaya perawatan yang cukup besar dan tidak akan tertutupi hanya dari tiket masuk pengunjung saja. Semoga di masa datang ada kepedulian negara untuk mengelola aset yang begitu berharga ini, dan semangat serangan umum 1 Maret kembali berkobar di dada para generasi muda Indonesia.
Teater di Atap Bangunan Monjali (Dokpri)
Lihat Travel Story Selengkapnya