Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

[Jelajah Turki] Menikmati Sejuknya Masa Lalu Kota Selcuk

3 Agustus 2016   21:23 Diperbarui: 3 Agustus 2016   21:38 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Isa Bey yang Masih Digunakan (Dokpri)

Selcuk hanyalah sebuah kota kecil yang sejuk dan tenang, tak tampak bangunan modern tinggi besar atau hiruk pikuk kota pada umumnya. Jalannyapun masih menggunakan paving blok, bukan aspal seperti kota lainnya. Namun dibalik itu Selcuk menyimpan sejarah panjang peradaban manusia mulai dari era Yunani, Romawi, hingga Ottoman, yang diwakili oleh reruntuhan kota tua Ephesus (Efes dalam bahasa Turki) di era Yunani Kuno, Gereja St. Paul di era Romawi, dan Masjid Ali Bey di era Ottoman. Saya tiba di kota ini menjelang Maghrib pukul 8.30 sore, setelah perjalanan selama 3 jam dari kota Denizli dengan menggunakan bus.

Suasana Kota Selcuk Malam Hari (Dokpri)
Suasana Kota Selcuk Malam Hari (Dokpri)
Karena sudah malam, walaupun masih tampak terang, saya hanya berjalan-jalan di sekitar pusat kota. Seorang pemuda Turki yang ramah menegur saya, dan mempersilakan mampir ke toko souvenir milik majikannya. Sambil mengenalkan barang-barang yang dijual, dia mulai bercerita bahwa sejak pemboman yang beberapa kali terjadi (sebelum kudeta) tahun ini, jumlah turis menurun drastis yang berakibat pendapatan semakin menurun. Di sisi lain, para pengungsi Suriah yang ditampung dan dipekerjakan di toko sebelah, mendapat tunjangan cukup besar, sementara gajinya sebagai penjaga toko hanya seperlima dari yang diperoleh pengungsi. Hal ini menyebabkan kecemburuan sosial yang bila tidak diatasi dapat menimbulkan friksi yang lebih jauh.

Reruntuhan Aquaduct Kota Selcuk (Dokpri)
Reruntuhan Aquaduct Kota Selcuk (Dokpri)
Dia membandingkan kalau dirinya berjualan dengan sopan, tidak memaksa, dan tetap ramah pada pengunjung. Berbeda dengan penjaga toko asal Suriah yang selalu membawa status pengungsinya untuk mendapatkan belas kasihan dari calon pembeli. Sayapun ga tega dan membeli beberapa buah souvenir dari tokonya, sekedar ikut berempati dengan penduduk setempat yang sudah bersikap ramah. Perjalananpun dilanjutkan dengan makan malam khas Turki, apalagi kalau bukan sate kebab dengan roti tawar yang selalu tersaji. Baru kali ini saya dapat makan murah, hanya 10 TL (47 Ribu Rupiah) untuk sepiring kebab plus roti. Setelah itu saya kembali ke hotel melalui aquaduct yang tinggal menyisakan tiang-tiang penyangga saja.

Reruntuhan Gereja St. Paul (Dokpri)
Reruntuhan Gereja St. Paul (Dokpri)
Masjid Isa Bey yang Masih Digunakan (Dokpri)
Masjid Isa Bey yang Masih Digunakan (Dokpri)
Esok paginya saya berjalan-jalan ke reruntuhan Gereja St. Paul yang berada di seberang jalan tak jauh dari hotel. Kondisinya tinggal reruntuhan dengan bangunan muka masih relatif utuh. Berjalan sedikit ke belakang sekitar 200 meter, terdapat masjid terbesar di Selcuk yaitu Ali Bey Cami. Masjid ini masih digunakan walau usianya sudah lebih dari 600 tahun. Rupanya jalan berputar relatif jauh sehingga saya kembali ke jalan semula, dan di bagian depan sebelah gereja, di puncak bukit terdapat benteng Ayasoluk yang juga berusia lebih dari seribu tahun, dibangun saat era Byzantium dan dimanfaatkan oleh Kesultanan Turki Ottoman untuk menjaga Selcuk dan sekitarnya.

Benteng Ayasoluk yang Masih Kokoh Berdiri (Dokpri)
Benteng Ayasoluk yang Masih Kokoh Berdiri (Dokpri)
Setelah sarapan pagi di hotel, perjalanan dilanjutkan menuju kota tua Ephesus yang terkenal itu. DI terminal saya diteriaki calo untuk naik ke dolmusnya, namun saya tinggalkan menuju ke perempatan yang tak jauh dari terminal. Di situ rupanya ada orang sedang menunggu dolmus (angkot) juga ke arah Ephesus, jadi saya ikutan saja karena lebih cepat naik dari sini. Benar saja, tak lama dolmus tiba dan mengantar kami hingga ke pintu masuk Ephesusu. Karena masuknya mahal, sekitar 40 TL (190 Ribu Rupiah), mending beli kartu Museum Pass seharga 185 TL (865 Ribu Rupiah) yang bisa digunakan ke seluruh museum di Turki, termasuk yang di Istanbul.

Jalan Masuk ke Kota Tua Ephesus (Dokpri)
Jalan Masuk ke Kota Tua Ephesus (Dokpri)
Masuk ke dalam kompleks kota tua Ephesus serasa kembali ke masa keemasan Yunani kuno ribuan tahun lalu. Awalnya terasa sejuk karena dinaungi pepohonan nan rindang. Namun begitu memasuki gerbang kota, pohon berganti reruntuhan bangunan yang terserak di kiri kanan jalan. Di depan sekali terdapat theater besar dengan ukuran hampir sama dengan theater di Pamukkale. Kondisinya masih 90 persen utuh dan kokoh berdiri, dilengkapi dengan bangku penonton setengah melingkar, dan panggung di depan serta lorong untuk keluar masuk hewan dan gladiator. Betapa hebat teknologi bangunan ribuan tahun lalu yang mampu membuat bangunan sekelas stadion sepakbola dari batu.

Theater Besar di Dekat Gerbang Utama Kota (Dokpri)
Theater Besar di Dekat Gerbang Utama Kota (Dokpri)
Sekitar 200 meter dari theater yang dihubungkan oleh Arcadian Way terdapat bangunan perpustakaan Celsus yang masih nampak indah dipandang, walau sudah tak beratap lagi. Nampak tiang-tiang penyangga masih kokoh berdiri membentuk sebuah hiasan yang ciamik sebagai latar belakang fotografi atau selfie. Di sekitarnya reruntuhan bangunan semakin padat, menunjukkan bahwa pada masa itu Ephesus termasuk kota dengan penduduk terpadat. Bila theater menjadi ukuran, maka jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 100 Ribu jiwa, hampir sama dengan Hierapolis di Pamukkale. 

Lorong Curetes yang Menjadi Jalan Utama Kota (Dokpri)
Lorong Curetes yang Menjadi Jalan Utama Kota (Dokpri)
Beranjak ke atas kita menemukan lorong Curetes yang menjadi jalan utama kota sambungan dari Arcadian Way, namun jalannya menanjak hingga ke pintu gerbang atas. Di sepanjang lorong terdapat reruntuhan yang sudah hampir tidak dikenali lagi bentuknya. Tiba di puncak terdapat theater lagi namun ukurannya lebih kecil dari yang di depan. Di pintu gerbang atas kita bisa keluar atau masuk dari situ, namun tidak ada angkutan umum sehingga harus menggunakan taksi untuk menuju ke kota. Saya memilih untuk kembali jalan ke gerbang utama, selain pengiritan juga biar sehat karena jaraknya juga tidak terlalu jauh, sekitar 2 Km saja.

Theater Kecil di Gerbang Belakang (Dokpri)
Theater Kecil di Gerbang Belakang (Dokpri)
Saat keluar gerbang, saya sempat dicegat oleh pedagang souvenir yang sedikit memaksa untuk mampir di kiosnya. Memang sekilas tampak ramah dan berusaha berbicara dalam bahasa Indonesia, maklum ternyata banyak turis kita yang sudah berkunjung kesini. Namun dengan alasan hendak check out hotel saya menolak halus ajakannya. Walau sempat memegang dengan keras tangan saya, akhirnya dia melepas begitu saja setelah saya sedikit memaksa melepaskan genggamannya. Menurut orang sana, memang itu keramahan khas Turki, tapi bagi saya itu modus pemaksaan secara halus untuk membeli sesuatu di kiosnya. Dia tetap mencoba menawarkan batu permata khas Selcuk, padahal di Indonesia sendiri sudah tidak musim batu-batuan lagi.

Bangunan di Desa Tua Sirince (Dokpri)
Bangunan di Desa Tua Sirince (Dokpri)
Setelah insiden tersebut, saya berusaha jalan secepat-cepatnya menuju halte dolmus. Tak sampai 10 menit, dolmus tiba dan sayapun langsung naik menuju ke kota untuk check out dan menitipkan tas di hotel karena kereta yang saya tumpangi baru tiba pukul empat sore. Masih ada waktu sekitar empat jam, saya sempatkan mampir ke Sirince, sebuah desa Yunani yang masih mempertahankan ciri khas perkampungan tuanya di tengah arus modernisasi saat ini, dan itulah daya tarik yang menjadikannya terkenal. Hanya butuh waktu sekitar 20 menit dan 3 TL untuk sampai ke sana. 

Gerbang Desa Sirince dan Toko Souvenir (Dokpri)
Gerbang Desa Sirince dan Toko Souvenir (Dokpri)
Suasananya mirip desa adat di Lombok namun dalam ukuran yang lebih luas. Di sini kita bisa menginap di homestay yang banyak tersedia di sana, atau sekedar berjalan-jalan dan membeli oleh-oleh khas seperti anggur atau jeruk dan sayur mayur, atau pernak pernik tradisional mereka. Di desa nyaris tidak ada jalan aspal, semua masih alami dengan model bangunan abad ke-17. Saya sendiri mencoba menelusuri daleman desa selama hampir satu jam dan menemukan gereja tua serta masjid yang terletak di tengah desa. Setelah menyempatkan diri sholat, saya mampir ke sebuah restoran di tepian bukit yang menawarkan pemandangan kebun anggur. Lumayan haus juga karena cuaca sangat panas dan tidak berkeringat sehingga saya sampai memesan tiga gelas minuman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun