Kuliah di perguruan tinggi ternama di negeri ini memang mengasyikkan sekaligus menjadi kebanggaan karena mampu menyisihkan saingan yang berebut bangku kuliahnya. Walau sama-sama negeri, namun tiap kampus memiliki tipikal masing-masing yang berbeda satu dengan lainnya. Berikut ini adalah sekilas pandang mengenai kuliah di empat perguruan tinggi negeri berdasarkan pengalaman pribadi sekitar 20an tahun lalu, tapi rasanya sih tidak akan jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Paling tidak ini sedikit gambaran buat adik-adik yang baru saja diterima di salah satu dari empat perguruan tinggi tersebut.
Kuliah di UI
Walaupun namanya Universitas Indonesia, namun kenyataannya sebagian besar mahasiswanya berasal dari Jakarta. Zaman dulu saja hampir 80% berasal dari Jakarta, sisanya baru dari luar Jawa terutama yang dapat PMDK alias jalur khusus tanpa mengikuti UMPTN (sekarang SNMPTN). Kuliah di UI harus siap dengan shock culture terutama yang berasal dari luar daerah, karena disini kita harus bisa menyesuaikan gaya hidup modern orang kota kalau tidak mau ketinggalan zaman.
Ada seorang teman yang berasal dari PMDK hanya kuat setahun kuliah terkena DO akibat tidak mampu mengikuti pelajaran (ga nyambung ya). Saya percaya dia bukan orang bodoh, tapi lebih karena tidak mampu mengikuti gaya hidup teman-temannya. Gap antara orang Jakarta dan non Jakarta masih terasa kental disini.
Di UI kehadiran sangat penting dan cukup ketat, kurang dari 75% kehadiran alias lebih dari 4 minggu langsung divonis nilai E alias tidak lulus. Bisa saja sih titip absen, tapi kalau keseringan rada jutek juga yang dititipin. Apalagi kalau lagi sial, sang dosen tiba-tiba meminta absen dan membacakan satu persatu nama yang ada di daftar hadir. Masih untung kalau dimaafkan, kadang-kadang tidak toleransi lagi langsung dicoret dan disuruh mengulang tahun depan.
Bicara pergaulan memang seperti telah diceritakan di atas tadi. Namanya juga kampus di dekat Jakarta, otomatis gaya hidupnya pasti terpengaruh pola kosmopolit yang mengandalkan penampilan. Akan tetapi, semua kembali ke diri pribadi, mau menyesuaikan diri namun tetap berpegang pada prinsipnya sendiri, atau terbawa arus pergaulan kota. Biaya hidup? Jangan ditanya lagi, harus pinter-pinter cari uang untuk bisa bertahan di Jakarta bila kiriman ortu pas-pasan.
Kuliah di ITB
Kata teknologi selalu identik dengan kepintaran atau kecerdasan dan cenderung maskulin. Di sini mahasiswanya memang sebagian besar laki-laki, dengan perbandingan rata-rata 70-80% dibanding wanita, bahkan beberapa jurusan tertentu hampir di atas 90% pria, seperti Geologi, Tambang, Mesin. Sementara yang rada feminin cenderung 60:40 atau 50:50 seperti Arsitektur, Planologi, Kimia, Farmasi, bahkan jurusan Biologi bisa sebaliknya. Dan ITB lah yang benar-benar miniatur Indonesia, karena hampir semua suku terwakili di sini, mulai dari Aceh hingga Papua ada, walau mayoritas tetaplah orang Jawa, disusul Batak dan Sunda.
Namun jangan heran bila kuliah di ITB bakal ketemu berbagai jenis makhluk berperilaku aneh. Ada yang kuliah cuma pakai kaos oblong dan sendal jepit (belakangan sih sudah mulai agak sopan dan rapi di beberapa mata kuliah), ada yang hobinya nangkring di Bonbin, ada yang suka ngelamun ga jelas. Kadang pikiran mereka sulit dibaca atau dipahami oleh kita orang awam ini. Mungkin karena saking pintarnya jadi mudah berperilaku ajaib. Kalau ada yang DO, itu bukan karena bodoh, tapi lebih karena pikiran yang aneh-aneh atau memang malas kuliah karena sudah merasa paling pandai. Lha wong DO nya saja ada yang jadi menteri koq.
Jangan kaget kalau ada teman yang susah dipinjami catatan, karena sebagian dari mereka memang selfish (mandiri, bukan berarti egois lho ya) yang tidak tergantung pada orang lain. Dan belum tentu juga kita mengerti isi catatannya, karena kalau tidak hadir kuliah kita ga bakalan mengerti isinya, Jadi di sini daftar hadir tidak terlalu penting, namun kita sendiri yang rugi kalau tidak hadir karena ga bakalan mengerti apa yang diterangkan dosen. Dosennya terutama yang menjelang usia pensiun, biasanya lebih killer daripada dosen muda. Mengulang kuliah sudah biasa dan bukan hal yang memalukan belajar dengan adik kelas.
Kuliah di Unpad
Belajar di sini lebih mirip seperti di UI namun dalam skala Bandung. Di sini juga sebagian besar mahasiswanya berasal dari Bandung yang gaya hidupnya lebih modis khas urang Sunda. Nuansa Jawa Barat sangat kental disini, baik dari bahasa, budaya, maupun sopan santunnya, walaupun sekarang ini sudah mulai luntur digantikan oleh keberadaan FO dan kafe yang lebih bernuansa barat.
Seperti di UI juga, kehadiran menjadi salah satu patokan utama kelulusan suatu mata kuliah. Kurang dari 75% siap-siap saja mengulang tahun depan. Tapi disini mahasiswanya cenderung lebih kompak satu angkatan atau satu jurusan, jadi bisa saling tolong menolong termasuk dalam hal titip absen. Suasana pergaulannya cukup cair, tidak terlalu terlihat gap antara orang Bandung dan pendatang,
Suasana kuliahnya agak nyantai, tidak terlalu tegang seperti tetangganya. Cuma udara dingin kadang bikin ngantuk terutama kuliah di siang hari, jadi kompensasinya ngariung seusai jam pelajaran, atau main basket, sesekali main bola di stadion Unpad atau menyewa di Pussenif. Di Unpad juga jarang terdengar mahasiswa DO, kecuali benar-benar malas atau kuliah ganda di perguruan tinggi lain.
Kuliah di UGM
Seperti jargonnya, UGM adalah kampus kerakyatan, memang benar-benar merakyat. Kampusnya saja dilalui bis dan jalan umum, jadi mudah diakses dari mana saja, tidak eksklusif seperti kampus lain. Warga kampusnya juga miniatur Indonesia mini walaupun didominasi oleh Indonesia bagian timur dan tentunya orang Jawa sendiri. Hidup di Jogja juga murah meriah, kalau lagi bokek bisa makan nasi kucing. Di Jogja asal punya keahlian juga lebih mudah cari duit, tinggal iklan saja di kampus atau perpus, order akan datang dengan sendirinya.
Soal kekompakan, UGM boleh dibilang nomer satulah dibanding kampus lain. Mungkin budaya gotong royong masih kental disini sehingga saat mau ujianpun kita bisa belajar bareng sampai pagi. Kehadiran, seperti di kampus lain, tetap harus di atas 75%, tapi sesekali bisa juga sih titip absen tetangga, asal jangan keseringan saja, karena dosennya juga jarang mengabsen ulang. Bahkan kita sempat patungan rame-rame sewaktu ada teman yang belum bayar uang kuliah.
Penutup
Kira-kira seperti itulah gambaran umum masing-masing perguruan tinggi dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Yang terpenting adalah: tetaplah jadi diri sendiri, jangan mudah terpengaruh oleh pergaulan yang tidak jelas yang akhirnya menyebabkan kita dikeluarkan dari kampus. Rata-rata yang DO dari kampus bukanlah karena bodoh, tapi karena malas dan terjebak pergaulan yang negatif. Ada juga karena ketiadaan biaya, tapi biasanya masih dapat ditanggulangi melalui beasiswa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI