Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jelajah Sri Lanka-Maladewa (2): Nostalgia Era-80an

13 Mei 2016   09:58 Diperbarui: 14 Mei 2016   09:52 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pintu Masuk Istana Batu Sigiriya (Dokpri)

Kalau Anda ingin menikmati suasana tahun 80-90an, cobalah jalan-jalan ke Sri Lanka. Begitu tiba di bandara Bandaranaike Interational Airport, aromanya serasa berada di Halim Perdanakusuma atau Kemayoran sebelum pindah ke bandara Soetta. Pembedanya hanyalah tersedianya garbarata dan scanner yang lebih modern, selebihnya sama saja. Keluar dari bandara tengah malam, saya berjalan menuju hotel sejauh sekitar dua kilometer dan mampir ke sebuah warung untuk membeli minuman. Kondisinyapun mirip sebuah RM Padang di Melawai jaman dulu, bedanya hanya mesin kasirnya saja sudah modern. Bajajpun berkeliaran sahut menyahut menawari saya untuk menaikinya, dan sayapun menyerah karena lelah setelah menempuh 7 jam perjalanan.

Jam Gadang ala Kurunegala (Dokpri)
Jam Gadang ala Kurunegala (Dokpri)
Bus-Bus Jadul ala Sri Lanka (Dokpri)
Bus-Bus Jadul ala Sri Lanka (Dokpri)
Esok paginya, saya berangkat menuju Dambulla melalui terminal bis Katunayake yang terletak sekitar 500 meter dari bandara. Lagi-lagi keadaan terminalnya mirip terminal Grogol tahun 90an, dengan bis-bis yang hampir sama dengan bis Gamadi Nomor 20 Jurusan Grogol - Blok M. Bis AC merupakan barang langka, yang ada hanya Elf ber-AC jurusan Colombo - Bandaranaike melalui terminal ini. Yang mengagetkan saya, ongkos bisnya murah banget, jarak 71 Km (setara Jakarta - Purwakarta) hanya Rs 91 atau sekitar Rp. 8500 saja! Walaupun Non AC, tetap saja saya anggap murah karena di sini saja paling tidak di atas Rp. 10.000.

Suasana Dalam Bis (Dokpri)
Suasana Dalam Bis (Dokpri)
Naik bis di Sri Lanka serasa naik bis Sahabat atau Bhinneka jurusan Jakarta-Cirebon, atau Sumber Kencono dari Surabaya, benar-benar ngebut dan sambernyawa! Diiringi musik khas Ceylon, bis melaju kencang di tengah jalanan yang sempit, persis Jakarta-Bogor lewat Cibinong atau Alas Roban tempo dulu. Ngetemnya juga di terminal tertentu saja, tidak di sembarang tempat, dan tak lebih dari 10 menit bis sudah hengkang kembali. Tak sampai dua jam setengah, saya tiba di Kurunegala untuk berganti bis menuju Dambulla. Terminal Kurunegala agak besar, mirip seperti terminal Senen.

Terminal Bis Kurunegala (Dokpri)
Terminal Bis Kurunegala (Dokpri)
Bis tujuan Dambulla kebetulan kosong, hanya terisi kurang dari 10 orang. Di tengah jalan, bis menyalip bis lain dengan tujuan sama, dan kamipun dioper ke bis yang disalip tersebut. Yach mirip-miriplah di Indonesia kalau bis kosong hampir selalu dioper. Bedanya disini kenek lebih bertanggung jawab dengan mengantar penumpang hingga naik ke bis, tidak kabur begitu pindah bis. Menjelang Dambulla, bis berhenti sejenak di sebuah warung untuk isitirahat buang air kecil dan ngopi selama 10 menit. Bis kembali berjalan dan seperti biasa, ngebut untuk mengerjar waktu, hingga saya nyaris salah turun karena bis tak berhenti di terminal.

Patung Buddha di Dambulla Golden Temple (Dokpri)
Patung Buddha di Dambulla Golden Temple (Dokpri)
Usai cek in dan makan siang, sorenya saya menuju Dambulla Golden Temple diantar tuktuk yang disediakan hotel. Ini adalah candi Buddha yang terletak di sebuah gua di bukit batu yang terletak di sebelah selatan kota. Pulau Sri Lanka sendiri terlihat seperti tonjolan bebatuan yang muncul ke permukaan dari Lautan Hindia. Hal ini dapat dibuktikan banyak batu-batu menonjol yang kemudian dibuat candi atau patung Buddha, bahkan istana raja seperti di Sigiriya. Jadi jangan heran kalau kita serasa kembali ke zaman batu. Namun pemandangan dari atas bukit sangat indah dan hijau, sesuatu yang mulai tergerus digusur industrialisasi di negeri kita.

Pintu Masuk Istana Batu Sigiriya (Dokpri)
Pintu Masuk Istana Batu Sigiriya (Dokpri)
Esoknya, saya berkunjung ke istana batu Sigiriya yang sangat terkenal di Sri Lanka dan telah dilindungi oleh UNESCO sebagai salah satu cagar budaya dunia. Kalau tidak sewa mobil atau naik tuktuk, kita harus berjalan sejauh 2 Km menuju gerbang masuk, dan mendaki anak tangga sekitar 2500 buah untuk sampai ke puncak yang tingginya lebih dari 300 meter. Cukup melelahkan memang, namun di atas ada dua tangki air, jadi tidak perlu membawa air untuk meringankan beban. Tiket masuknya sendiri cukup mahal, 30 USD (400 Ribu Rupiah) namun karena penasaran sikat sajalah. Uniknya, saat saya antri tiket, lagu kebangsaan Sri Lanka diperdengarkan dan seluruh kegiatan berhenti untuk menghormatinya. Sesuatu yang langka di negeri kita sendiri, bahkan patung pahlawan saja diinjak-injak.

Puncak Bukit Batu Sigiriya (Dokpri)
Puncak Bukit Batu Sigiriya (Dokpri)
Butuh waktu sekitar tiga jam untuk naik dan turun kembali sambil berfoto-foto ria. Usai kunjungan yang melelahkan dan bikin kaki bengkak, saya kembali ke hotel untuk cek out dan melanjutkan perjalanan ke Kandy. Ditengah perjalanan, bus mogok, maklum usia kendaraan sepertinya sudah 30 tahun lebih dan mesinnyapun masih di depan. Kita dapat pengembalian ongkos dan menyetop bis yang lewat berikutnya. Sampai di Kandy, jalanan mulai tampak macet, maklum jam pulang sekolah (di sana ga ada long weekend) sehingga banyak bis-bis tua ngetem.

Stasiun Kereta Api Kandy (Dokpri)
Stasiun Kereta Api Kandy (Dokpri)
Sampai di terminal bus, saya langsung berjalan menuju stasiun kereta api yang terletak bersebelahan untuk memesan tiket ke Colombo esok hari. Keadaan stasiunnya mengingatkan saya akan stasiun Gambir zaman belum direnovasi, kuno dan artistik. Tidak tampak modernisasi sedikitpun, kecuali komputer saja untuk cetak tiket. Kereta apinya tampak seperti KA zaman tahun 80an, bahkan AC KA eksekutifnya cuma AC Split yang ditempel di dinding atas pintu. Benar-benar jadul, namun eksotis dan klasik, serasa kembali ke masa lalu. Tata kota Kandy pun mirip Bandung zaman orde baru saat saya sekolah dulu. Berbukit-bukit dengan rumah-rumah besar ala Belanda, dan pasar yang mirip Pasar Baru atau Banceuy. Bentuk bangunannya rata-rata sudah berusia di atas 50 tahun, kalaupun direnovasi tidak mengubah bentuk bangunan, hanya pengecatan saja.

Karena waktu sudah sore, tidak banyak yang saya lakukan kecuali jalan-jalan di sekitar danau Kandy dan ROyal Palace. Hati-hati di sini karena banyak orang SKSD menawarkan berbagai hal, mulai dari perahu keliling danau sampai mengantar keliling istana. Ujung-ujungnya ya fulus, oleh karena itu hindarilah dengan halus dan segera ngacir, jangan beri kesempatan ngobrol. Saya sendiri dikira orang Malaysia dan coba ngajak ngobrol bahasa Melayu, tapi saya tolak halus dan langsung ngacir. Jalan-jalan disini maupun Dambulla juga sulit untuk berfoto, karena khawatir disambar orang dan menjadi makanan empuk para pedagang yang menganggap kita turis kaya.

Bangunan Klasik di Kandy (Dokpri)
Bangunan Klasik di Kandy (Dokpri)
Pagi hari, saya menuju Colombo menggunakan kereta api, karena sudah bosan dengan bis dan sedikit ingin nyaman. Harga tiketnya juga 10 kali lipat dibanding bis tujuan sama, yaitu Rs 1100 (100 Ribu Rupiah). Di sini kereta eksekutif nyambung dengan bisnis dan ekonomi, yang kondisinya seperti telah diceritakan di atas. Pemandangan selama perjalanan persis seperti naik Argo Parahyangan, berbukit-bukit, lalu menjelang Colombo berubah menjadi persawahan dan kampung. Tiba di Colombo dua setengah jam kemudian, suasana stasiun keretanya nyaris sama, tampak jadul banget seperti Pasar Senen jaman dulu.

AC Split di atas Pintu Kereta Eksekutif (Dokpri)
AC Split di atas Pintu Kereta Eksekutif (Dokpri)
Setelah menitip tas, saya berjalan kaki keliling kota Colombo lama sekaligus mencari oleh-oleh di Laksala. Jalanannya semrawut, bis-bis ngetem namun lebih tertib dibanding Jakarta. Bangunannya tampak tua-tua, jarang sekali bangunan modern atau baru. Lagi-lagi mirip Jakarta era 80-90an saat saya SMA dulu. Nyaris tidak tampak fly over kecuali arah jalan tol. Namun bagi saya tetaplah mengasyikkan, karena serasa menjadi muda lagi dan teringat masa-masa indah di SMA. Walau demikian, tetaplah harus berhati-hati karena ada saja orang mengikuti kita, atau menawarkan sesuatu. Mungkin itulah upaya mereka untuk memperoleh rezeki dari turis. Waktu makan siang saja, saya sempat ditanya ada lowongan hotel di Malaysia, mengingat wajah saya mirip. Saya bilang tidak tahu dan saya dari Indonesia. Namun tetap saja dia setia menunggu sampai saya pergi.

Pemandangan Alam dari Kereta Api (Dokpri)
Pemandangan Alam dari Kereta Api (Dokpri)
Siang hari, cuaca semakin panas memaksa saya mengambil tas di stasiun dan melanjutkan perjalanan menuju bandara untuk terbang ke Maldives sore harinya. Baru kali ini saya melihat sedikit modern ketika melihat floating market di samping terminal bus Pettah yang modelnya seperti terminal Banteng jaman dulu. Lalu jalan tol menuju bandara yang dibangun oleh pemerintah Canada menjadi pertanda kemodernan negeri ini. Terkadang suasana jadul itu memang perlu untuk rehat dari kebisingan modern yang memusingkan kepala.

Stasiun Colombo Fort (Dokpri)
Stasiun Colombo Fort (Dokpri)
Red Mosque Salah Satu Peninggalan Sejarah Colombo (Dokpri)
Red Mosque Salah Satu Peninggalan Sejarah Colombo (Dokpri)
(Bersambung)

artikel sebelumnya disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun