Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Menjemput Rezeki di Tawau

2 April 2016   05:17 Diperbarui: 2 April 2016   06:50 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Lapangan Terbang Tawau (Dokpri)"][/caption]Tawau sebagai pintu gerbang Malaysia di wilayah paling timurnya seperti gula bagi para semut-semut yang datang dari Indonesia. Meminjam istilah salah seorang ustadz, disinilah tempatnya menjemput rezeki. Saat kami membeli karcis kapal cepat ke Tawau, tampak tidak terlalu ramai, namun tumpukan paspor sedang menanti dibuatkan manifes perjalanan. Hanya ada satu dua orang saja menunggui paspor-paspor tersebut, sementara kami harus memelototi satu demi satu paspor yang sudah selesai didata, agar tidak hilang atau tertukar dengan tumpukan paspor tersebut. Sepertinya tumpukan paspor tersebut milik para TKI yang akan berangkat menjemput rezeki di seberang sana.

[caption caption="Dua Kapal Cepat di Dermaga Tunon Taka (Dokpri)"]

[/caption]Selesai urusan tiket, kami langsung menuju bangunan pelabuhan Tunon Taka untuk mencap keluar Indonesia dan masuk ke dermaga dimana kapal cepat telah bersandar menanti penumpang. Kami sempat bingung karena ada dua kapal cepat di kedua sisi dermaga. Seseorang menanyakan paspor yang telah ditempeli nama kapal, lalu menunjuk ke arah kanan dermaga. Itulah kapal cepat yang kami naiki. Saat kami baru saja duduk, ternyata ada juga rombongan yang salah kapal sehingga harus pindah ke kapal sebelah. Rupanya ada dua kapal cepat yang berangkat pada waktu yang hampir bersamaan.

[caption caption="Pedagang Asongan Menjajakan SIM Card dan Minuman (Dokpri)"]

[/caption]Menjelang pukul sembilan pagi, kapal mulai ramai penumpang yang duduk di sembarang kursi tanpa nomor tersebut. Mereka rata-rata rombongan, jarang terlihat orang yang pergi sendirian seperti kami ini. Dari wajahnya, tampak seperti TKI yang akan kembali bekerja di Malaysia, atau keluarga besar yang akan menengok keluarganya di seberang sana. Seketika tempat duduk mulai penuh, dan kapalpun lepas jangkar untuk segera berangkat menuju seberang. Para pedagang kartu SIM Malaysia dan minuman silih berganti menawarkan dagangannya, demikian pula dengan penukar uang dari Rupiah ke Ringgit. Ratenya standar sekitar 3400 Rupiah per satu Ringgit, hampir sama dengan money changer di Jakarta.

[caption caption="Selamat Datang di Tawau (Dokpri)"]

[/caption]Satu jam lebih sepuluh menit kapal cepat melaju menembus ombak dan angin sepoi-sepoi di selat Nunukan, melintasi Sebatik dan tiba di Tawau sekitar pukul 10.15 waktu Malaysia, sama dengan waktu di Nunukan. Antrian panjang langsung terbentuk di depan gerbang untuk cap paspor masuk Malaysia. Dari wajah-wajah pengantri, tampak sebagian besar seperti berasal dari Indonesia Timur. Ketegangan tersirat di raut wajah mereka, mengingat nasibnya tergantung pada para petugas imigresen yang akan menentukan boleh tidaknya mereka masuk, walaupun telah membawa semacam surat sakti atau rekomendasi untuk bekerja di sana.

[caption caption="Antrian Didominasi Wajah-wajah Indonesia TImur (Dokpri)"]

[/caption]Sedang panas-panasnya mengantri, tiba-tiba muncul seseorang seperti merayu petugas jaga, kemudian memberi kode pada rombongan di belakang untuk menyalip antrian. Agak kesal juga sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi. Sempat terdengar bisikan bahwa mereka sudah ditunggu jemputan dari perusahaan sehingga harus buru-buru. Lalu beberapa menit kemudian, ada rombongan lain lagi yang juga menyalip masuk setelah 'berkoordinasi' dengan petugas jaga. Sepertinya ada calo atau penampung para TKI yang telah menanti di pelabuhan, dan begitu rombongan mendarat langsung dijemput tanpa harus mengantri. Tidak semua memang menyalip antrian, karena ada pula rombongan yang tetap mengantri, sepertinya sang calo menunggu di luar gedung, tidak menjemput di dalam.

[caption caption="Pasar Tanjung Tawau (Dokpri)"]

[/caption]Hampir satu jam kami menunggu antrian akibat telitinya petugas memeriksa paspor terutama para TKI, apakah dilengkapi dengan rekomendasi atau tidak. Teman saya beruntung bisa keluar duluan karena petugasnya tidak banyak bertanya, namun giliran orang di depan saya ternyata bermasalah, sehingga saya terpaksa menunggu lebih dari lima belas menit hingga petugas selesai memproses berkas orang tersebut. Sepertinya masih belum lama bertugas sehingga tampak ragu-ragu mengambil keputusan. Untungnya pas giliran saya, dia tidak terlalu curiga sehingga setelah sidik jari, paspor langsung dicap dan sayapun langsung menuju keluar gedung bersama teman yang sudah menunggu sejak lama. Loket imigrasinya sendiri cukup unik, karena ada konter khusus untuk TKI, namun karena sedang padat maka semua loket bisa digunakan tanpa kecuali.

[caption caption="Kantor Pemda Tawau Tampak Sederhana (Dokpri)"]

[/caption]Begitu keluar gedung, tampak pemandangan yang sangat jauh berbeda dengan kota Nunukan. Di depan mata tampak pasar Tanjung Tawau dan beberapa kedai yang tertata rapi di sekitarnya. Karena cuaca panas, kami naik taksi menuju terminal bis di depan Sabindo Plaza. Sepanjang perjalanan terlihat kota Tawau yang teratur rapi jalannya, hampir semua berbentuk grid atau garis-garis lurus membentuk jaringan segi empat, pola ruang kota yang juga diterapkan hampir di seluruh kota di Malaysia. Bangunan tinggi bertebaran menandakan betapa modernnya Tawau bila dibanding kota tetangganya. Namun anehnya, gedung pemerintahan kota (Majlis Perbandaran Tawau) walaupun tinggi dan besar, tapi tampak kusam dan tidak terlalu mewah. Jauh dibandingkan dengan tetangga dimana kantor Bupatinya tampak megah di tengah kesulitan ekonomi yang mendera rakyatnya. Sungguh sebuah ironi yang memilukan.

[caption caption="Pusat Perbelanjaan Sabindo Plaza (Dokpri)"]

[/caption]Sebenarnya tidak tega rasanya untuk menyebut modern slavery. Namun itulah hukum alam, dimana manusia akan selalu mengejar kehidupan yang lebih baik, walaupun harus meninggalkan keluarga tercinta dan mengorbankan jiwa raganya. Kali ini rumput tetangga memang benar-benar lebih menjanjikan daripada rumput negeri sendiri yang kering kerontang. Untungnya, NKRI masih tetap harga mati, tak luntur nasionalisme walau harus berpeluh keringat di negeri orang.

[caption caption="Perpustakaan Negeri Sabah di Depan Terminal Bas (Dokpri)"]

[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun