Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kamboja Negeri Dua Mata Uang

13 Juli 2015   17:41 Diperbarui: 13 Juli 2015   17:41 3251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sambungan dari sini)

Kunjungan Vietnam usai sudah, perjalanan dilanjutkan menuju Kamboja. Dari Ho Chi Minh saya berangkat dengan van melalui darat menuju Phnom Penh. Saat berada di perbatasan setelah cap paspor selesai, seorang bule mengingatkan saya untuk menukar recehan Dollar. Kenapa? Karena rupanya orang Kamboja lebih tertarik menerima Dollar daripada mata uangnya sendiri. Bahkan kalau tidak punya recehan, bisa jadi Dollar kita tidak dikembalikan. Anehnya, tingkat pergerakan nilai tukarnya tidak meroket seperti di Indonesia. Saat saya baca blog tahun 2010 - 2012, nilai tukarnya 1 Dollar berbanding 4000 Riel. Sekarang nilai tukarnya cuma bergeser sedikit jadi 4100 Riel, itu pun di pasar gelap masih bisa dapat 4000 Riel. Jadi menguatnya Dollar di pasar global tidak terlalu pengaruh di negeri ini (saya berkunjung bulan April 2015 lalu, saat 1 Dollar sudah dihargai 13.100 Rupiah).

Benar juga, ketika saya beli minuman harganya rata-rata 1 Dollar di pinggir jalan. Kalau di supermarket biasanya dikembalikan 1000-1400 Riel, tergantung minumannya. Lucu juga yach bayar pakai Dollar kembalian pakai Riel, kadang juga bayarnya kombinasi Dollar dan Riel sekaligus, misal 1 Dollar 1000 Riel untuk sepotong roti. Makan pun bayar kan pakai Dollar, kebetulan saya makan di restoran Melayu di pasar Central, total nasi ayam sayur capcay plus es teh manis harganya 5 Dollar. Demikian pula di kedai siap saji ala Amrik, harganya tidak jauh berbeda, kisaran 4-6 Dollar sekali makan. Hanya uniknya makan ayam goreng krispy pakai sayur timun dan sendok garpu, bukan pakai jari tangan.

Baiklah, lanjut ceritanya, setelah satu setengah jam meninggalkan Ho Chi Minh, van tiba di gerbang perbatasan Moc Bai. Karena masih pagi proses imigrasi berjalan lancar dengan dipandu oleh supir van. Hanya bule saja yang agak lama karena masih ada proses verifikasi visa. Sekitar 15 menit seluruh penumpang selesai cap paspor, kemudian lanjut ke gerbang Kamboja di Bavet. Jaraknya tidak sampai satu kilometer, dan proses disini juga berjalan lancar, sekitar 20 menit seluruh penumpang sudah kembali ke van. Keluar gerbang perbatasan, kita berhenti di sebuah restoran untuk berisitirahat sekitar 20 menit. Selesai istirahat perjalanan lanjut menuju Phnom Penh, melintasi Sungai Mekong dengan menggunakan kapal ferry, karena jembatan penghubungnya baru selesai dibangun dan belum diresmikan. Jam setengah satu siang van tiba di terminal Capitol setelah perjalanan selama tiga jam dari perbatasan.

Kondisi kotanya tidak jauh beda dengan kota-kota sedang di Indonesia, lebih mirip Kendari atau Palu. Angkot susah tapi banyak tuktuk di sini. Demi penghematan, saya berjalan kaki dari terminal Ou Ruessei Market menuju bundaran Old Stadium melalui Central Market, untuk konfirmasi tiket van menuju Siem Reap. Kondisi pasarnya mirip Tanah Abang, semrawut dan semua barang ada. Demikian pula kondisi jalanannya, walaupun lebih mulus tapi tetap saja semrawut seperti di Ho Chi Minh. Setelah jalan kaki selama sejam lebih dan mampir sebentar di Wat Phnom, sampai juga saya ke konter tiket van dekat Old Stadium. Karena waktu perjalanan masih lama, jam enam sore, saya sewa tuktuk keliling kota. Tawar-menawarnya lucu juga, ketika saya tawar 20 Dollar dengan menunjukkan dua jari, dia tolak. Kemudian saya tunjuk lima jari, dia agak mengangguk ragu-ragu. Salahnya ketika saya tunjukkan uang kertas 20 Dollar, langsung doi mengiyakan tanpa banyak tanya lagi. Oh, betapa bodohnya saya, kenapa tidak ditunjukkan 10 Dollar duluan ya. Inilah akibat susah berkomunikasi, supirnya tidak bisa bahasa Inggris, saya tidak bisa bahasa lokal.

Namun ternyata pelayanan supir tuktuk cukup memuaskan. Saya diajak keliling ke Sisowath Quay, lanjut ke istana Raja Sihanouk, lapangan kemerdekaan hingga kantor Walikota Phnom Penh. Sisowath Quay sendiri merupakan pusat kegiatan wisata di Phnom Penh di mana banyak terdapat hotel dan restoran, terletak di tepian anak Sungai Mekong sehingga pas buat nangkring para turis. Sejalan dengan Sisowath terdapat istana Raja yang dihinggapi burung-burung merpati di tamannya. Tak jauh dari situ terdapat tugu Sihanouk yang terletak di tengah lapangan kemerdekaan.

Perjalanan dilanjutkan menuju daerah reklamasi di mana terletak balaikota Phnom Penh dan arena hiburan rakyat. Tak terasa hampir dua jam keliling Kota Phnom Penh di tengah panasnya sinar mentari siang hari. Kita pun kembali ke konter tiket van menunggu perjalanan pukul 18.00 WIB. Tuntas sudah perjalanan keliling di ibu kota Kamboja. (Bersambung)

NB. Cara menawar tuk-tuk paling mudah adalah tunjukkan nilai dollar yang Anda tawar, kalau dia mengangguk berarti setuju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun