[caption id="attachment_400488" align="aligncenter" width="448" caption="Wajah Kosmopolitan Yogya (Kolpri)"][/caption]
Motto Yogya Berhati Nyaman pernah menjadi tagline Kota Yogyakarta sekitar awal tahun 2000-an sewaktu saya tinggal di sana hingga berakhirnya masa pemerintahan Pak Wali Herry Zudianto sebelum berganti menjadi Segoro Amarto yang menjadi semboyan saat ini. Seiring bergantinya motto tersebut ternyata menggambarkan kondisi Yogya saat ini, paling tidak saat saya berkeliling kota Yogya minggu lalu. Keramahtamahan Yogya beberapa puluh tahun lalu saat saya kecil sudah tak lagi tampak, berubah menjadi kota bercorak kosmopolitan seperti Jakarta.
[caption id="attachment_400489" align="aligncenter" width="448" caption="Tas Punggung di Depan dan Pakai Helm di Angkot (Kolpri)"]
Perubahan kecil tapi mencolok yang saya perhatikan ketika naik bis Trans Jogja adalah banyaknya tas punggung yang digantung di depan, tidak lagi di belakang sebagaimana lazimnya. Hal ini menunjukkan bahwa menggendong tas punggung di belakang sudah tidak lagi aman, bahkan di dalam bus atau di jalan raya. Banyak tangan jahil yang akan merogoh isi tas yang berpotensi untuk dijual lagi atau dipakai sendiri. Demikian pula helm kadang dijinjing, bahkan dipakai saat naik angkutan umum. Di beberapa toko bahkan ditulis 'helm dibawa masuk' untuk menunjukkan bahwa helmpun, tak peduli bagus atau jelek, sudah menjadi sasaran empuk para pencoleng, bukan sekedar motornya saja.
[caption id="attachment_400490" align="aligncenter" width="448" caption="Mie Ayam Plus Ceker dan Pangsit Rp. 10.000 (kolpri)"]
Sejak zaman saya tinggal disanapun, Yogya memang sudah relatif tidak aman. Banyak teman kuliah saya yang kehilangan motor saat parkir di kampus atau di pertokoan. Namun menggantung tas punggung di depan atau memakai helm di angkutan umum jelas menunjukkan bahwa tingkat kerawanannya sudah sedemikan hebat sehingga perlu proteksi ekstra. Mungkin aparat penegak hukum maupun pemerintah daerah juga sudah lelah untuk menjaga keamanan Yogya sehingga masyarakat harus mengamankan dirinya sendiri. Sekarang ini Yogya sudah tak lagi membuat hati nyaman, berganti dengan rasa was-was dan curiga dengan orang sekeliling.
[caption id="attachment_400492" align="aligncenter" width="448" caption="Gudeg Yogya Makanan Tradisional yang Masih Tersisa (Kolpri)"]
Itu baru secuil yang nampak di permukaan. Belum lagi harga makanan yang tak lagi murah seperti saat saya tinggal di sana dulu. Dulu selisih harga mie ayam dengan rasa sama bisa 1000 - 3000 Rupiah dengan harga di Jakarta. Sekarang harganya sudah sama, sekitar 8000 - 10.000 Rupiah. Nasi kucingpun juga sudah tidak murah-murah amat, paling murah sekitar 3000 - 4000 Rupiah sama es teh, belum termasuk gorengan atau sate telor puyuh. Yogya sudah tak nyaman lagi di kantong pelajar, terbawa oleh arus inflasi kota besar yang semakin mencekik leher. Sayang seribu sayang, kota budaya seperti Yogya yang seharusnya dilestarikan, malah terbawa arus modernisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H