Acara Peringatan 10 Tahun Tsunami (Kolpri)
Sebuah kebahagiaan ketika pertama kali mendarat di Aceh sekaligus menjawab rasa penasaran saya tentang cerita tsunami yang selama ini beredar. Namun kesan pertama setelah mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda adalah Aceh yang benar-benar baru, tidak tampak lagi adanya bekas-bekas tsunami kecuali beberapa monumen peringatannya saja. Kehidupan berjalan normal layaknya belum pernah tertimpa musibah yang begitu dahsyat. Warung-warung kopi selalu penuh warga yang nangkring hingga larut malam.
Sepanjang perjalanan dari Banda Aceh menuju Meulaboh, jalanan mulus dan lebar, kecuali di daerah pegunungan Geurute dekat Lamno yang berkelok dan menyempit. Pemandangannya luar biasa indah, namun sayangnya belum dikelola maksimal oleh pemerintah setempat. Nyaris tak terlihat sisa-sisa tsunami, hanya di beberapa titik saja memang dibiarkan tumbuh alami tidak dihuni kembali karena khawatir terjadi tsunami di masa datang. Jalanan mulus nan sepi membuat ternak leluasa bergerak kesana kemari tanpa batas.
Selesai urusan dinas di Meulaboh, dalam perjalanan kembali pulang sempat mampir juga ke lokasi terdampak parah tsunami. Tampak sisa-sisa bangunan yang diterjang tsunami dan padang ilalang tinggi menutupi jejak musibah sepuluh tahun lalu. Beberapa bangunan semi permanen tempat nangkring di tepi pantai telah kembali berdiri. Pemecah gelombangpun telah bersiap menerima ancaman tsunami bila memang terjadi suatu saat nanti. Sementara di sisi lain pantai terdapat kuburan massal para korban tsunami.
Rakyat Aceh seperti sudah melupakan kejadian sepuluh tahun lalu tersebut. Namun luka-luka yang ditimbulkan belum sembuh benar. Hikmah dari kejadian tsunami, Aceh kembali damai setelah berpuluh tahun berperang dengan ibu kandungnya sendiri. Saat ini kondisi keamanan Aceh sangat kondusif. Tidak tampak ketakutan menjelang malam tiba. Semua berjalan seperti apa adanya, tidak seperti sebelum tsunami dimana hampir setiap beberapa kilometer terdapat pos-pos penjagaan. Semua itu telah hilang berganti rasa aman dan nyaman sepanjang perjalanan malam hari. Infrastrukturpun benar-benar diperhatikan pemerintah pusat, hampir tak ada jalan berlubang ditemukan di sepanjang perjalanan kami, kecuali terjadi longsor di pegunungan Geurute saja.
Setiba kembali di Banda Aceh, disempatkan untuk mampir ke beberapa titik monumen tsunami, antara lain PLTD Apung yang terdampar di tengah permukiman. Juga sebuah kapal nelayan yang nyangkut di atas sebuah rumah. Seorang penunggu monumen bercerita saat peristiwa tersebut, banyak warga meninggal bukan semata karena tenggelam oleh hempasan air laut yang menjorok ke daratan, tetapi lebih karena kepanikan warga yang berlarian tertabrak oleh kendaraan roda dua maupun empat yang dipacu dengan kecepatan tinggi untuk menghindari amukan tsunami. Suasana saat itu benar-benar crowded sehingga membuat warga terjebak tidak bisa masuk maupun keluar dari zona rawan tsunami.
Saat sedang makan mie Aceh di salah satu kedai, mata tertuju pada halaman depan koran lokal Serambi Post. Rupanya isu yang sedang hangat saat ini adalah penggunaan bendera Aceh yang berdampingan dengan bendera Merah Putih. Hampir semua sepakat untuk menggunakan bendera di era Sultan Iskandar Muda, sekitar abad ke-16 karena memiliki nilai sejarah tinggi. Tinggal meminta persetujuan Jakarta saja agar bendera tersebut bisa digunakan sebagai simbol daerah khusus bernama Nanggroe Aceh Darussalam. Bendera itu sendiri berlatar warna merah dengan bulan sabit dan pedang berwarna putih seperti pada gambar berikut yang diambil dari harian Serambi Post.
Tak lupa sebelum meninggalkan Aceh untuk mampir di masjid yang menjadi ikon kebanggaan warga Aceh, sekaligus menjadi salah satu bangunan yang tetap tegar menghadapi tsunami. Apalagi kalau bukan Masjid Baiturrahman yang terletak di pusat kota dekat lapangan Blang Padang. Mesjid tersebut tetap kokoh berdiri melawan gelombang air laut yang membawa ribuan ton serpihan hasil terjangan tsunami. Hingga hari ini masjid tersebut tetap tegak dan melayani umat Islam beribadah.
Sepuluh tahun sudah tsunami berlalu, jantung Aceh telah kembali berdegup kencang mengikuti irama tari saman. Tak ada lagi cerita perang disana, berganti menjadi aura perdamaian, seperti akronim Aceh yang memang terdiri dari berbagai suku bangsa: Arab Cina Eropa Hindia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H