Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Emang Enak Jadi Pejabat?

29 Januari 2015   16:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:09 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang mendambakan diri menjadi pejabat negeri ini, entah jadi Bupati, Walikota, Menteri, Anggota DPR/DPRD. Berbagai upaya dilakukan mulai dari membeli suara, beramal, lobi sana sini, dan sebagainya. Padahal kalau sudah duduk juga ga enak-enak amat, makanya kursi pejabat sering disebut sebagai kursi panas. Lantas kenapa jadi pejabat sebenarnya ga enak?

Pertama, hape hampir setiap saat berdering, entah SMS entah telepon, mulai dari saudara yang minta katabelece, teman yang minta tolong, tetangga yang punya hajatan, sampai orang tak dikenal mencoba test on the water alias teror halus. Kalau sampai tidak diangkat atau dicuekin, bisa-bisa besok jadi headline di koran lokal atau terancam tidak dipilih lagi periode berikutnya.

Kedua, tamu-tamu banyak berdatangan, mulai dari anak buah laporan (kalau ini memang kewajiban), kolega yang coba-coba cari kerjaan, sesama pejabat yang ingin berkolusi, masyarakat atau konstituen yang mengadu ingin diperhatikan, oknum pengurus tempat ibadah atau panti yang minta-minta sumbangan, sampai LSM dan wartawan bodrek yang mencoba mengorek-korek borok. Kadang tidak cuma di kantor, di rumahpun kadang tamu tak diundang silih berganti berdatangan entah urusan apa aja.

Ketiga, waktu bersama keluarga menjadi terganggu dan nyaris tidak bisa liburan bersama. Kalau tertangkap basah liburan bersama keluarga, alih-alih malah dituduh memanfaatkan uang negara untuk kepentingan pribadi. Urusan bisnis pribadipun menjadi terganggu lantaran takut dikira kolusi atau nepotisme. Nyaris tidak ada lagi privasi selama menjadi pejabat, waktunya tersita hanya untuk 'melayani' masyarakat terutama konstituen seperti pada point pertama dan kedua.

Keempat, gaji yang keliatannya besar di mata masyarakat atau wartawan, ternyata habis hanya untuk menyumbang partai atau konstituen, membiayai aneka acara atau sekedar kunjungan tak resmi bersama mereka. Sehari bisa habis minimal satu dua juta rupiah. Bayangkan kalau sebulan, bisa minimal 30-50 juta habis hanya untuk mempertahankan suara, belum lagi bila ada hajatan besar partai atau konstituen, bisa lebih besar lagi pengeluarannya. Korupsi menjadi jalan satu-satunya untuk menutupi kekurangan gaji dan tunjangan. Lagipula rugi donk capek-capek melayani masyarakat, kalau ga ada hasil jerih payahnya, entah rumah dan mobil baru atau tanah berhektar-hektar.

Kelima, kemerdekaan diri menjadi sangat terganggu. Kemana-mana orang minta selfie, sehingga perlu body guard yang mumpuni untuk mengusir halus mereka. Lalu para kuli tinta yang rajin mengerubungi, meminta komentar atau pendapat yang kalau silap lidah bisa menjadi bahan bullying di media sosial. Belum lagi para paparazzi siap-siap mengintai dari kejauhan, menunggu momen penting yang dapat menjadi top trending di instagram.

Jadi, amat sangat aneh sebenarnya kalau masih ada orang yang ngebet banget pengen jadi pejabat, apalagi sekarang ini sudah banyak pejabat menginap di hotel prodeo mengenakan jaket oranye. Di zaman Rasulullah saja para sahabat dengan senang hati menghibahkan jabatannya apabila ada yang mau, dan memang tidak ada yang berminat kecuali memang ditunjuk atau diberi amanah langsung oleh Beliau. Sekarang ini jabatan bukan lagi amanah, tapi lebih kepada prestise dan gengsi semata sekaligus mengamankan posisi strategis para pengusungnya. Toh mengenakan jaket oranye juga merupakan kebanggaan tersendiri karena dianggap sebagai fans berat kesebelasan mantan penjajah kita. Alamak!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun