Ada adagium yang mengatakan ‘propaganda dilahirkan kaum agama dan yang merawat serta membesarkannya adalah kaum politisi’. Jadi tidak mengherankan isu identitas dan sara begitu diminati bahkan dalam konteks tarung politik praktis.
Pada Oktober 2021 pada webinar yang bertajuk ‘Tarung Opini Politik di Media Sosial” yang diadakan Lab 45, dipaparkan beberapa hasil riset terkait politik di media sosial. Secara umum akun-akun influencer/buzzer yang aktif di 2019 masih eksis di tahun 2021 (sampai sekarang) dan cenderung masih konsisten menjadi pendukung figur atau kelompok masing-masing.
Tidak terjadi pergeseran akun secara signifikan, pergeseran keberpihakan akun hanya terjadi pada beberapa tokoh influencer disebabkan peralihan koalisi partai, kekecewaan terhadap figur, masuk dalam posisi tertentu atau sebaliknya terdepak dari lingkar kekuasaan. Singkatnya, polarisasi yang terjadi dalam konteks politik di media sosial saat ini merupakan “residu” pilpres 2019.
Pada titik tertentu polarisasi ini dapat disebut sebagai “fanatisme buta”. Dalam konteks media sosial fanatisme terhadap figur dan kelompok tertentu membuat jagat cuit (social network analysis) yang terbentuk terisolasi dari perbincangan natural (echo chamber) bahkan cenderung bernuansa rekayasa (social media engineering). Hal ini disebabkan orkestrasi isu berupa tagar atau keyword tertentu yang ditrendingkan merupakan suatu yang tidak bergerak secara alamiah di media sosial.
Hal yang cenderung akan bertahan dalam tarung opini politik tahun 2024 adalah pola-pola dan metode operasi media sosial seperti perang tagar, pembentukan cyber army, penggunaan bot engine, jasa trending topik (agensi), manipulasi opini publik, black campaigne, smoke screen, dan operasi semburan fitnah/hoaks (firehose of falsehood) sebagai perang psikologi dalam propaganda komputasi.
Popularitas dan Elektabilitas
Akhir-akhir ini isu tentang big data menjadi ramai dibincangkan di tengah masyarakat, hal ini disebabkan statement beberapa figur politik yang mewacanakan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang menurut mereka hal itu berdasarkan analisis big data.
Hal ini menuai polemik di masyarakat, mayoritas masyarakat dan warganet menolak wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden. Hal ini dapat kita lihat dari hasil beberapa lembaga survey dan analisis big data.
Berbeda dengan survei dengan menggunakan 'sampling' dengan berbagai metodenya, big data merujuk pada populasi data yang ada di crawling lalu mengalami proses anotasi kemudian diekstraksi menjadi data yang terstruktur dan diolah oleh mesin (engine), hasil dari mesin big data ini selanjutnya dianalisis oleh analis yang akhirnya akan menjadi sebuah produk analisis.