Mohon tunggu...
diyarko
diyarko Mohon Tunggu... Guru - Guru, volunteer GSM, coach

Guru SMK Negeri 11 Semarang, Volunteer Gerakan Sekolah Menyenangkan Indonesia dan coach

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyentuh Siswa Melalui Social Emotional Learning

10 Februari 2022   11:38 Diperbarui: 10 Februari 2022   11:48 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karya Ilustrasi Siswa Kelas X Animasi SMK N 11 Semarang

Oleh Diyarko, Guru SMK N 11 Semarang

Bukan sekedar fasilitas, tetapi suasana  sekolah, dimana guru membuka tangan kepada siapa saja yang datang dan melihat perbedaan talenta setiap anak, sehingga setiap anak  berkembang menemukan versi terbaiknya. Ungkapan yang disampaikan oleh Muhammad Nur Rizal (Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan) menjadi inspirasi bagaimana menjadi guru yang mampu menuntun kodrat anak didik agar potensi yang dimilikinya semakin berkembang, selamat lahir dan batinnya, memberikan kebermanfaatan untuk dirinya, masyarakat bangsa dan negaranya serta mencapai kebahagiaan yang setinggi-tingginya, seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara tentang makna sejati dari proses mendidik. 

Untuk merealisasikannya banyak tantangan yang dihadapi oleh guru yang selama ini masih berada pada paradigma lama, dimana peran guru sebagai memberi materi bagaikan mengisi botol kosong dengan air yang justru meninabobokkan anak didiknya. Akibatnya dengan adanya perubahan yang begitu cepat banyak siswa yang pintar secara akademik tidak bisa bertahan dan sukses  di dunia riil. Kondisi semacam itulah yang membuat siswa belajar di dunia persekolahan hanya sebatas formalitas  karena siswa tidak menemukan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan. Belajar hanya sebatas kotak ruangan kelas, belum mampu membawa anak didiknya untuk membuka jendela dan melihat dunia luar. 

Buktinya materi-materi yang disampaikan hanya sebatas pada pengetahuan yang harus dihafalkan, belum mampu menciptakan siswa untuk berpikir kritis, kreatif dan inovatif menghadapi permasalahan-permasalahan sehari-hari. Yang lebih tragis lagi masih banyak guru yang mengajar dengan mengisi materi dengan orientasi untuk menghadapi ujian. "Nak, materi ini wajib dipelajari, karena besok akan keluar di ujian".  Bahkan yang lebih parah lagi pada pembelajaran di masa pandemi ini ada seorang guru yang memberikan perintah kepada anak didiknya untuk membuat menyalin di buku catatan dari tulisan yang ada di buku paket. Istilah CBSA berubah makna menjadi "Catat Buku Sampai Habis" justru menjadi beban bagi siswa di era saat ini yang seharusnya diajak untuk berpikir secara kritis mengatasi permasalahan diri dan lingkungannya.

Tak heran borring learning terjadi ketika paradigma lama ini masih berkembang dan menjadi panutan bagi guru karena zona nyamannya tidak mau diusik. Dampak negatifnya adalah siswa lebih menikmati kebahagiaannya ketika sekolah akhirnya membolos, tidur-tiduran di kelas, tawuran, merokok di sekolah, bulying, corat-coret tembok dan segudang hal-hal negatif yang mewarnai permasalahan-permasalahan di sekolah. Orientasi penanganan permasalahan tersebut lebih banyak pada pelaku dan hukuman apa yang pantas diberikan dengan bertameng pada point-point pelanggaran dan aturan sekolah.  Dimana letak akar permasalahannya sehingga kejadian-kejadian tersebut selalu berulang setiap tahunnya? Mengapa kesadaran diri siswa juga tidak muncul padahal aturan begitu ketatnya diterapkan?

Salah satu penyebabnya adalah aturan yang dibuat sekolah tanpa melibatkan anak didik. Jangan heran ketika aturan itu ditetapkan, justru banyak pelanggaran-pelanggaran yang bermunculan. Aturan-aturan yang berisi point-point pelanggaran justru menjadi sorotan bagi siswa dan menjadi tekanan. Dalam jangka waktu yang pendek, aturan tersebut seakan-akan berjalan efektif, namun hasilnya tidak akan bertahan lama, karena kesadaran tidak hadir dari diri siswa. Disiplin yang muncul karena keterpaksaan. Sering kali kita mendengar bahwa apa yang diucapkan dan ditulis adalah bagian dari doa. Karena aturan-aturan sekolah yang ditulis adalah point-point pelanggarannya, jangan heran yang akan muncul adalah hal-hal negatifnya. Alangkah indahnya, ketika point pelanggaran diubah menjadi "Kode Etik Kebaikan", yang berisi tentang aturan-aturan perilaku yang baik yang perlu dikembangkan disekolah. Ketika di point pelanggaran berbunyi, "Datang terlambat dengan point 20" akan lebih indah ketika di kode etik kebaikan berbunyi "Tepat waktu datang ke sekolah mendapat bintang kebaikan 20". Secara psikologis akan mampu membangkitkan anak didik akan terus menjalankan kebaikan-kebaikan di setiap perilakunya. Pada dasarnya seorang manusia itu tidak mau jika harga dirinya direndahkan, namun membutuhkan penghargaan. Pepatah Jawa, "Menang tanpa ngasorake" yang artinya menang tanpa merendahkan merupakan pepatah yang masih relevan sampai kapanpun ketika akan mentranfer kebaikan kepada anak-anak didik kita. Kekuatan inilah yang menjadi bagian penting di gerakan sekolah menyenangkan adalah memberikan bintang kebaikan, penghargaan dan respon positif sebagai feedback yang akan meningkatkan kualitas kehidupan anak didik. 

Menjadi pendengar yang baik merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang guru. Paradigma lama, guru adalah penasehat yang ulung, belum merasa menjadi guru ketika belum banyak ceramah dan nasehat kepada anak didiknya. Untuk menjadi pendengar yang baik, maka morning sharring, circle time dan kegiatan lainnya yang memberikan kesempatan siswa untuk mengungkapkan perasaannya, menceritakan pengalamannya menjadi kegiatan yang efektif. Pengalaman saya ketika mengadakan morning sharring justru saya menjadi tahu bahwa kejadian bulying pernah dialami oleh siswa ketika di sekolah sebelumnya.

 Bahkan dari cerita tersebut ada seorang teman di SMP nya sampai sakit kanker tulang belakang karena awalnya mendapatkan bulying dengan kekerasan fisik sampai jatuh dan tulang belakangnya menatap pojok dinding. Bulying tersebut dialami oleh salah satu siswa perempuan cantik dan oleh sekelompok siswa perempuan lainnya yang tidak terima dengan kehadirannya karena menjadi pesaing kecantikannya. 

Dari penjelasan siswa yang bercerita tersebut bahwa guru di SMP tersebut tidak mengetahui kejadian bulying tersebut, bahkan kegiatan morning sharring tidak pernah dilakukan. Ke mana peran guru yang mampu mengulurkan tangannya untuk menerima permasalahan siswa dan dituntunnya mengembangkan potensinya? Apakah dengan alasan terlalu banyak pekerjaan administratif sehingga mereka lupa peran pentingnya sebagai fasilitator bagi anak didiknya. Dari keempat kompetensi guru, justru tiga kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian yang paling berhubungan erat dengan psikologis anak didiknya dibandingkan kompetensi profesional guru. 

Beberapa pengalaman penerapan social emotional yang sudah dilakukan dalam proses mendidik yang menyentuh psikologis siswa, selain morning sharring dan circle time adalah pemberian challenge yang mengarah pada proses membangun empati yang tertuang dalam challenge-challenge yang include dalam pembelajaran. Seperti yang dilakukan pada pembelajaran kelas X Animasi SMK Negeri 11 Semarang, ada beberapa challenge yang menyentuh empati seperti challenge: orang tuaku pahlawanku, guru favoritku, merapikan tempat tidurku, kebersihan bagian dari iman, hari pendidikan nasional, hari sumpah pemuda, agama penuntun hidupku.  Meksipun kelihatan sederhana dan seakan-akan tidak berhubungan dengan pelajaran animasi, namun jika dipelajari lebih mendalam justru challenge tersebut mampu mendorong perubahan perilaku siswa. 

Orang tuaku pahlawanku merupakan suatu challenge yang diawali dengan mendengarkan lagu karya Iwan Fals berjudul "Ibu". Setelah siswa mendengarkan, selanjutnya siswa diminta untuk menuliskan apa yang dirasakan. Mayoritas siswa menyatakan bahwa apa yang dirasakan adalah sedih dan terharu, ternyata besar sekali pengorbanan orang tuanya (ibu) untuk kehidupan mereka. Dari pantikan tersebut sebagian besar siswa melakukan kegiatan-kegiatan yang membantu meringankan beban orang tua seperti membersihkan rumah, membantu apa saja yang terkait pekerjaan ibunya di rumah, bahkan ada yang membantu orang tuanya berjualan di angkringan maupun di cafe. Pantikan tersebut pada prinsipnya meningkatkan sikap dan perilaku empati melalui olah rasa dan olah laku, seperti yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara.  Dari apa yang dirasakan tersebut selanjutnya siswa diberi tantangan berkaitan dengan proses membuat gambar ilustrasi terkait dengan isi lagu tersebut. Di luar espectasi saya, ternyata gambar-gambar siswa sangat bagus padahal mereka masih di kelas X.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun