LATAR BELAKANG
Raden Ngabehi Ranggawarsita merupakan salah seorang pujangga besar yang berasal dari Jawa abad ke-19 yang karyanya tidak hanya terkenal karena keindahan sastra dan simbolisme-nya, tetapi juga karena spiritual dan pandangan filosofisnya yang mendalam terhadap kehidupan, perubahan, dan perjalanan zaman. Terlahir dengan nama kecil Bagus Burham pada tahun 1802, ia tumbuh di lingkungan Keraton Surakarta sebagai keturunan keluarga sastrawan dan bangsawan. Kakeknya, Yasadipura I, dan ayahnya, Yasadipura II, merupakan pujangga yang dihormati, sehingga dari keluarganya, Ranggawarsita memperoleh dorongan kuat untuk mempelajari sastra dan budaya Jawa klasik.
Ranggawarsita menghasilkan sejumlah karya sastra yang terkenal akan tema-tema tentang perjalanan hidup manusia, sejarah, dan perputaran zaman. Karyanya yang paling dikenal, Serat Kalatidha, berisi refleksi dan prediksi tentang masa yang penuh ketidakpastian. Ranggawarsita menguraikan pandangan tentang kondisi zaman melalui tiga fase penting: Kalasuba (masa yang penuh dengan kebaikan), Katatidha (masa yang penuh ketidakpastian), dan Kalabendhu (masa yang ditandai oleh penderitaan dan kemerosotan).  Melalui karya-karyanya ini, Ranggawarsita sering mengkritik perubahan zaman serta penurunan moral di masyarakat, khususnya pada masa transisi dari kekuasaan kerajaan menuju pengaruh colonial  dan yang dapat kita lihat pada fenomena sosial saat ini, termasuk korupsi.
Korupsi di Indonesia telah menjadi masalah berulang sejak masa kolonial hingga era modern. Praktik yang merusak sendi-sendi kehidupan ini tampak mencerminkan gambaran Kalabendhu, sebuah masa penuh tantangan yang pernah diramalkan oleh Ranggawarsita. Dengan mengaitkan pandangan Ranggawarsita tentang perputaran zaman, mulai dari Kalatidha hingga Kalabendhu, kita dapat melihat bagaimana budaya korupsi masa kini merupakan tanda krisis moral yang telah lama diingatkan oleh pujangga tersebut. Artikel ini akan mengupas lebih dalam relevansi pemikiran Ranggawarsita terhadap kondisi sosial Indonesia saat ini, khususnya dalam kaitannya dengan isu korupsi yang meluas.
Sebagai pujangga yang dipandang sangat berpengaruh, ia dijuluki "pujangga terakhir," karena karyanya dianggap sebagai salah satu pencapaian tertinggi dalam sastra Jawa klasik. Meski di akhir hayatnya ia mengalami kekecewaan karena situasi politik dan sosial yang jauh dari idealismenya, Ranggawarsita tetap dikenang melalui warisan sastranya. Selain Serat Kalatidha, beberapa karyanya yang lain, seperti Serat Sabdatama, Serat Paramayoga, dan Serat Jayengbaya, mengandung pesan moral, sosial, serta nilai-nilai spiritual. Pemikiran-pemikiran Ranggawarsita hingga kini tetap menjadi sumber inspirasi dan referensi dalam memahami dinamika sosial dan politik di Indonesia, terutama terkait dengan konsep zaman dan krisis moral.
Ranggawarsita menjelaskan perubahan zaman dalam hidup manusia melalui tiga tahapan utama, yaitu Kalasuba, Katatidha, dan Kalabendhu. Ketiga era ini menyimbolkan dinamika moral, sosial, dan spiritual yang berubah di masyarakat. Berikut adalah penjelasan lebih rinci tentang masing-masing era.
1. Kalasuba (Era Kebaikan)
Kalasuba, atau "era penuh kebaikan," Periode ini menggambarkan situasi masyarakat yang harmonis dan penuh kedamaian. Di era Kalasuba, nilai-nilai moral dan keadilan terpelihara dengan baik, sementara para pemimpin menunjukkan tingkat integritas yang tinggi. Ranggawarsita melukiskan Kalasuba sebagai masa yang ideal, meskipun tidak berlangsung lama. Seiring waktu, masyarakat mulai beralih dari nilai-nilai ini. Dalam konteks Indonesia, Kalasuba menggambarkan masa-masa yang diidamkan, di mana keadilan serta keteladanan kepemimpinan tetap terjaga.
2. Katatidha (Era Ketidakpastian)
Katatidha melambangkan era di mana masyarakat mulai merasakan ketidakpastian dan kebingungan akibat perubahan-perubahan sosial. Pada masa ini, muncul tanda-tanda keruntuhan nilai-nilai moral dan disorientasi di masyarakat. Ranggawarsita menggambarkan era ini sebagai masa peralihan yang mengandung keresahan, terutama ketika nilai-nilai lama mulai tersingkir oleh pengaruh dari luar. Era ini bertepatan dengan awal masuknya pengaruh kolonial, di mana sistem kekuasaan tradisional mulai tergeser, membuat masyarakat kehilangan arah dalam menghadapi perubahan yang berlangsung cepat. Di Indonesia, Katatidha dapat menggambarkan masa ketika masyarakat mulai mempertanyakan transparansi dan moralitas pemerintah, terutama karena maraknya kasus korupsi. Fenomena korupsi ini mencerminkan hilangnya arah moral di tengah masyarakat.
3. Kalabendhu (Era Penderitaan dan Kemerosotan)
Kalabendhu adalah masa yang penuh penderitaan dan krisis moral yang memuncak. Pada zaman ini, menurut Ranggawarsita, kondisi sosial didominasi oleh ketidakadilan, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan, yang membawa penderitaan bagi masyarakat. Di masa Kalabendhu, masyarakat mengalami kemerosotan etika yang parah, dan ikatan sosial pun menjadi semakin rapuh. Ranggawarsita mengingatkan bahwa Kalabendhu akan terjadi bila nilai-nilai luhur diabaikan, sehingga era ini mencerminkan konsekuensi dari mengutamakan kepentingan pribadi. Masa ini juga sering dikaitkan dengan situasi kolonial yang semakin kuat di Nusantara, yang membawa penderitaan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Korupsi pada era Kalabendhu dianggap mencapai titik tertinggi, ditandai dengan para pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan dan merugikan masyarakat secara luas. Situasi ini relevan dengan kondisi di Indonesia, di mana korupsi sering kali melibatkan sejumlah pemimpin dan pejabat tinggi negara.
Melalui konsep tiga era ini, Ranggawarsita menunjukkan bahwa perubahan moral dan tatanan sosial adalah bagian dari siklus yang terus berulang. Dia juga mengingatkan pentingnya menjaga nilai-nilai luhur dalam menghadapi perubahan zaman, sekaligus memperingatkan risiko yang akan muncul jika nilai-nilai tersebut ditinggalkan.
Evaluasi Diri Tri Wikrama Ranggawarsita: Makna dan Relevansi dengan Waktu serta Hukum Karma
Konsep Tri Wikrama
Tri Wikrama dalam pandangan Ranggawarsita adalah konsep untuk memahami dan mengevaluasi diri melalui tiga dimensi waktu: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Evaluasi ini bertujuan agar seseorang dapat memetik pelajaran dari masa lalu, menyadari tindakan di masa kini, dan mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Ketiga dimensi waktu ini berhubungan erat, dengan penekanan bahwa tindakan di masa lalu dan masa kini akan mempengaruhi masa depan, sesuai dengan hukum karma.
1. Masa Lalu (Purwa)
Dalam Tri Wikrama, masa lalu dilihat sebagai waktu di mana berbagai tindakan telah dilakukan dan membentuk kondisi saat ini. Ranggawarsita menekankan pentingnya belajar dari masa lalu, baik dari kesalahan maupun keberhasilan, untuk bisa membangun kehidupan yang lebih baik. Melihat masa lalu memberikan pelajaran tentang mana yang sebaiknya diulang dan mana yang harus dihindari, karena masa lalu merupakan fondasi dari kehidupan sekarang.
2. Masa Kini (Waktining Saiki)
Masa kini, menurut Tri Wikrama, adalah kesempatan untuk memperbaiki diri dan mengambil keputusan yang baik. Ranggawarsita percaya bahwa tindakan yang dilakukan saat ini menentukan masa depan. Dalam kaitannya dengan hukum karma, masa kini adalah waktu yang paling penting untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk agar dampaknya positif, baik bagi kehidupan saat ini maupun masa depan.
3. Masa Depan (Wewaktu)
Masa depan adalah hasil dari apa yang kita lakukan sekarang dan merupakan konsekuensi dari masa lalu. Ranggawarsita mengajarkan bahwa masa depan dapat dipengaruhi oleh tindakan baik atau buruk yang kita lakukan di masa lalu dan sekarang. Dengan prinsip karma, masa depan adalah cerminan dari sikap dan tindakan kita: bila kita berbuat baik, dampak positif akan dirasakan di masa depan; sebaliknya, jika tindakan kita buruk, masa depan juga bisa penuh dengan kesulitan.
Hubungan Tri Wikrama dengan Hukum Karma
Konsep Tri Wikrama berhubungan erat dengan hukum karma, yang menyatakan bahwa setiap tindakan membawa dampak, baik positif maupun negatif, sesuai dengan perbuatan tersebut. Ranggawarsita menggunakan konsep waktu untuk menunjukkan bahwa segala tindakan kita akan berdampak dan kembali kepada diri kita sendiri. Dengan kata lain, apa yang kita lakukan di masa lalu membentuk kehidupan saat ini, dan apa yang kita lakukan sekarang akan membentuk masa depan.
Melalui evaluasi Tri Wikrama, Ranggawarsita mengingatkan kita akan pentingnya kesadaran moral dalam setiap tindakan. Konsep ini mengajarkan bahwa kebahagiaan dan penderitaan adalah tanggung jawab kita sendiri, hasil dari keputusan dan perbuatan yang kita pilih sesuai dengan hukum karma.
Fenomena Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Ranggawarsita
Korupsi yang melanda Indonesia menggambarkan kondisi dalam era Kalabendhu, di mana integritas, kejujuran, dan keadilan semakin terkikis oleh kepentingan pribadi. Melalui siklus zaman ini, Ranggawarsita menyoroti bagaimana kemerosotan moral dalam masyarakat dapat terjadi, serta pentingnya peran pemimpin dalam menjaga nilai-nilai luhur demi kesejahteraan bersama.
Ranggawarsita mengingatkan bahwa siklus kehancuran akan terus terulang sampai masyarakat menyadari perlunya kembali kepada nilai-nilai moral yang kuat. Pesan ini sangat relevan dalam menghadapi korupsi di Indonesia: diperlukan reformasi moral dan komitmen dari setiap elemen masyarakat, termasuk pemimpin, untuk menghidupkan kembali keadilan sosial dan integritas.
Â
DAFTAR PUSTAKA
Ranggawarsita, R. N. (2001). Serat Kalatidha. Jakarta: Balai Pustaka.
Santoso, S. (2017). Ranggawarsita: Pujangga dan Pemikir Besar Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Kuntowijoyo (1997). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Heryanto, A. (2018). Korupsi di Indonesia: Sejarah, Penyebab, dan Dampaknya. Jakarta: Kompas Gramedia.
Sedyawati, E. (2006). Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Pramono, Y. H. (2010). Mencari Kehancuran di Serat Kalatidha. Yogyakarta: Kanisius.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2022). Laporan Tahunan KPK: Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jakarta: KPK.
Soebadio, H., & Sri Hardono, M. (1975). Javanese Cultural Expressions: A Case of Wayang and Serat Kalatidha. Leiden: KITLV Press.
Latif, Yudi. (2016). Ranggawarsita, Pujangga Akhir Zaman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sasradipoera, R.T. (1996). Serat Kalatidha: Karya Sastra Ranggawarsita. Jakarta: Balai Pustaka.
Zoetmulder, P.J. (1983). Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
Mulyana, Agus. (2010). Filsafat Jawa: Pergulatan Antara Kepercayaan, Agama dan Etika Jawa. Yogyakarta: LKiS.
Suryadi, Yos. (2003). Etika Jawa dan Filosofi Hidup Ranggawarsita. Surakarta: UNS Press.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H