"Iya, Ibu. Ibu, lihatlah paha dan kakiku sudah tidak ada lagi...."
Belalang menangis, memeluk erat ibunya. Mereka berpelukan lama. Sambil menunggu tangis anaknya reda, dia mengelus dada. Diluruskan bagian sayap yang robek, kemudian dijahit menggunakan urat daun ilalang.
"Ibu, apakah aku bisa terbang lagi? Apa kakiku akan tumbuh lagi?" tanyanya
Sang ibu berusaha menahan air mata. Pertanyaan Belalang tidak dijawab. Dia malah menyuruh Belalang menaiki punggungnya. Entah, akan dibawa ke mana. Dalam perjalanan, belalang mendengarkan ibunya bercerita tentang rumah baru mereka. Perasaan Belalang menjadi terhibur. Sampailah mereka ke tepi sungai. Sebuah rumah berpemandangan indah, ada banyak bunga yang mekar di sana. Aromanya sangat wangi. Warnanya putih berseri. Itulah, melati. Ibunya berjanji akan membawanya ke rumah baru setiap daun mulai mengering atau ketika pemangsa mulai mengintai. Selain itu, dia diingatkan Sang Ibu untuk tidak khawatir meski tidak memiliki kaki, karena sayapnya bisa pulih dan bisa digerakkan jika selalu makan yang sehat juga berolahraga.
"Baikah, Ibu. Aku akan membantu memotong dedauan dengan gigiku ini. Aku akan berolahraga dan makan banyak supaya sehat, kuat, sepertimu, Ibu. Aku akan menjadi belalang jantan tangguh, bukan? Doakanku selalu ya, Bu."
Wajah Belalang berubah, yang tadinya pucat menjadi berseri karena perkataan sang ibu. Akhirnya mereka pun tinggal di rumah baru, setiap pagi mereka minum air embun dan juga memotong dedauan sebagai makanan sehari-hari. Saat mereka terbang selalu sambil bernyanyi.
"Kami belalang, belalang terbang...
Terbang ke sana, terbang ke mari...
Menjaga diri, berhati-hati!"
Tamat
Â
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
http://m.kompasiana.com/androgini
Â
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community