Sedari kecil, saya tak pernah bercita-cita menjadi guru. Waktu TK, mungkin karena terpengaruh si boneka Susan saya bercita-cita menjadi dokter. SD kelas 3 cita-cita saya sudah tak ingin menjadi dokter lagi karena saya takut darah dan takut melihat jarum suntik, saat itu cita-cita saya adalah menjadi seorang polisi wanita. Namun ketika SMP kelas 3 saya membuang jauh cita-cita itu karena tinggi badan saya yang biasa saja tentu tak bisa melampaui batas minimal untuk menjadi seorang polisi. Saat itu, cita-cita saya berubah ingin menjadi seorang akuntan.
Namun, tak ada yang bisa tahu rencana Tuhan untuk hamba-Nya. Ketika lulus SMA tahun 2005, orang tua saya tak sanggup untuk membiayai saya kuliah. Saya diminta untuk menunggu kakak saya selesai kuliah dulu. Setelah kakak saya lulus, saya baru diperbolehkan melanjutkan ke Perguruan Tinggi manapun yang saya mau, tentunya dengan masih mempertimbangkan kondisi ekonomi keluarga saya.
Saya pun menurut. Karena memang hanya itu yang bisa saya lakukan. Tetapi ternyata ibu saya siang malam menangis, melihat anak bungsunya yang begitu penurut dan tak banyak protes. Ibu merasa bersikap tak adil pada saya karena saya harus menunggu kakak saya lulus padahal belum jelas dia akan lulus kapan.
Akhirnya, orang tua saya memberikan pilihan pada saya. Pertama, kuliah di jurusan yang saya minati dengan syarat menunggu kakak saya selesai. Kedua, kuliah di Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) atau Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa (PBSJ) tanpa harus menunggu kakak saya selesai.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, saya memilih pilihan kedua. Saya mendaftar di jurusan PGSD di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga dan jurusan PBSJ di Universitas Negeri Semarang (Unnes). Ternyata, saya diterima di dua tempat itu. Saya menyerahkan semuanya pada keluarga, baiknya saya memilih jurusan yang mana. Kenapa tidak saya sendiri yang memilih? Jawabannya adalah karena kedua jurusan itu sama-sama tidak saya minati. Jadi, biarkan saja orang tua saya yang memilihkan untuk saya.
Dengan alasan keadaan ekonomi pula, orang tua saya menyarankan saya untuk memilih jurusan PBSJ di Unnes. Dengan pertimbangan kuliah di Perguruan Tinggi Negeri biayanya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan biaya di Perguruan Tinggi Swasta.
Awal-awal kuliah, saya baru tahu. Bukan hanya saya yang terpaksa memilih jurusan PBSJ ini. Ternyata kawan-kawan saya juga banyak yang terpaksa. Maklum, saat itu memang sedang santer-santernya dikumandangkan sangat sangat sangat dibutuhkan guru bahasa Jawa di Jawa Tengah, Jawa Timur dan DIY. Mungkin karena tahun-tahun sebelumnya di SMA tidak ada mata pelajaran bahasa Jawa namun mulai tahun 2005 pemerintah mewajibkan pelajaran bahasa Jawa sebagai muatan lokal yang wajib ada di SD, SMP, SMA, dan SMK.
Meski awalnya terpaksa, lama-lama saya jatuh cinta juga pada jurusan yang saya ambil ini. Oktober 2009, akhirnya saya diwisuda. Senangnya bisa lulus tepat waktu. Dulu saya berjanji untuk menyelesaikan kuliah dalam waktu 4 tahun. Dan Alhamdulillah, sebelum 4 tahun saya sudah dinyatakan lulus. Lebih tepatnya saya lulus dengan waktu 3 tahun 11 bulan 27 hari. Kurang dari 4 tahun kan? He..he.
Awal bulan November sudah ada pemberitahuan tentang penerimaan CPNS. Saat itu, peluang formasi guru bahasa Jawa sangat banyak. Di Sleman DIY saja dibutuhkan 32 guru bahasa Jawa. Belum kabupaten-kabupaten lain di DIY. Di Jawa Tengah juga sama, tiap kabupaten nyaris ada formasi guru bahasa Jawa sekitar 4. Padahal jumlah kabupaten di Jawa Tengah kan cukup banyak.
Saat itu -lagi-lagi- saya minta pertimbangan orang tua, baiknya saya mendaftar di mana. Saya juga menyampaikan, jika diperkenankan saya ingin mendaftar di DIY. Ternyata orang tua saya menyetujui. Akhirnya saya mendaftar di Kabupaten Sleman untuk formasi guru bahasa Jawa SMA.
Kebetulan tes CPNS DIY dan Jawa Tengah waktunya tidak bersamaan. Kalau saya tidak salah mengingat, jaraknya sekitar 2 minggu. Dan lagi, mendaftar di 2 tempat itu diperkenankan dengan catatan jika diterima di kedua tempat tersebut, apabila melepaskan daerah yang berasal dari Jawa Tengah maka didenda 10 juta. Sementara apabila melepaskan DIY diminta untuk membuat surat pernyataan yang isinya mengundurkan diri dan nomer ranking berikutnya menggantikan posisi kita.
Saya masih ingat, tes di Wonosobo dilakukan hari Minggu. Sementara hasil tes CPNS di Sleman diumumkan 1 hari berikutnya, hari Senin. Ternyata, saya diterima di Sleman. Saat itu, keluarga menginginkan saya tetap menunggu pengumuman hasil tes di Wonosobo. Saya pun menyanggupi, dengan syarat apabila saya juga diterima di Wonosobo saya akan tetap memilih yang di Sleman.
Melihat kekukuhan saya, keluarga pun mengalah. Mengijinkan saya tetap memilihkesempatan di Sleman. Sebelum pengumuman hasil tes CPNS di Wonosobo, saya resmi mengundurkan diri. Ketakutan, jika diterima harus mencari uang 10 juta dari mana. He..he.
Akhirnya, di sinilah saya sekarang. Menjadi guru termuda di sekolah saya. Di usia saya yang ke 22 tahun saya dipercaya untuk mengajar di SMA 1 Minggir, sebuah SMA yang terletak di perbatasan Sleman dan Kulonprogo.
Meskipun dulu tak ingin, tapi sekarang saya menikmatinya. Karena memang hidup harus disyukuri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H