Mohon tunggu...
Humaniora

Revisi terhadap UU No. 12/2006

7 April 2016   14:31 Diperbarui: 7 April 2016   14:41 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berkembangnya teknologi saat ini terutama dengan mudahnya seorang untuk berpergian ke luar negeri semakin mendukung maraknya perkawinan campuran. Perkawinan campuran sendiri dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Perkawinan di Indonesia telah diatur, yaitu dalam pasal 57 yang berbunyi bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka dapat disimpulkan jika dalam perkawinan campuran terdapat dua kewarganegaraan yang berbeda disatukan dalam ikatan perkawinan. Perkawinan tersebut akan menghasilkan keturunan, yang mana aturan untuk status kewarganegaraan anak tersebut berbeda-beda antar negara.

Di Indonesia masalah mengenai status kewarganegaraan anak akibat orangtua yang memiliki kewarganegaraan ganda diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2006. Pasal 4 menunjukkan siapa saja yang dapat disebut Warga Negara Indonesia (WNI). Terutama dalam pasal 4 huruf c, d, h dan l serta pasal 5 menyangkut tentang anak dari perkawinan campuran. Dengan adanya aturan tersebut maka anak dari perkawinan campuran dapat memiliki status kewarganegaraan ganda dari ayah maupun ibunya, atau yang biasa disebut dengan Anak Berkewarganegaraan Ganda atau Dwikewarganegaraan.

Bagi mereka yang setelah melakukan perkawinan campuran dan memiliki anak, tidak sedikit dari mereka yang tinggal di luar negeri, yang disebut dengan istilah diaspora. Dalam bahasanya, diaspora berarti penebaran benih, atau dalam arti lengkapnya adalah perantau atau orang yang pergi dari tanah airnya untuk tinggal di luar negeri. Ada sekitar 7 juta diaspora yang tercatat tinggal di luar negeri sebagai perantau dalam bidang profesi, seni, pelajar dan sebagainya.

Jika dilihat dalam sisi positif, diaspora berperan sebagai aset penting Indonesia. Contohnya saja diaspora dalam bidang olahraga yang memiliki prestasi olimpiade internasional yang membanggakan secara otomatis akan membawa harum nama Indonesia sebagai negara asal atau keturunannya. Begitu juga dengan anak keturunan dari perkawinan campuran yang tinggal di luar wilayah Indonesia dan masih sebagai pemegang kewarganegaraan Indonesia atau dwikewarganegaraan.

Dengan pertimbangan seperti berikut di atas, banyak diaspora yang menuntut pemerintah Indonesia untuk mengganti atau mengamandemen undang-undang kewarganegaraan mengenai dwikewarganegaraan dan asas kewarganegaraan ganda terbatas untuk dapat berlaku di Indonesa untuk lebih dari umur 21 tahun atau berlaku seumur hidup sebagai dwikewarganegaraan tidak terbatas. Komunitas Diaspora Indonesia atau yang disebut Indonesian Diaspora Network ini telah mengajukan permohonan revisi UU No. 12/2006 tersebut yang saat ini sedang dalam Progam Legislasi Nasional atau Prolegnas di DPR RI.

Jika diingat kembali bahwa undang-undang kewarganegaran di Indonesia pasal 20 mengenai Indonesianis atau seorang yang telah berjasa kepada Indonesia akan mendapatkan status kewarganegeraan Indonesia. Hal tersebut anggaplah sama seperti diaspora yang memiliki kewarganegaraan ganda dan memiliki prestasi di luar Indonesia. Kedua obyek di atas sama-sama secara langsung dan tidak langsung berjasa kepada Indonesia di mata dunia.

Anak keturunan diaspora yang tinggal, menuntut ilmu bahkan berpengalaman kerja di luar wilayah Indonesia yang memiliki potensi sangat bagus akan sangat susah saat hendak kembali ke Indonesia untuk tinggal dan bekerja (berbakti) di Indonesia karena pada awalnya mereka diharuskan memilih satu warga negara atau jika tidak memilih sampai batas waktu umur yang ditentukan, mereka akan kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Padalah anak seperti itu memiliki potensi yang sangat baik atau SDM yang berpotensi untuk membantu membangun Indonesia.

Selain itu ada juga manfaat ekonomi yang disumbangkan jika diberlakukan dwikewarganegaraan tidak terbatas ini. Yaitu, masuknya remitansi. Remitansi adalah transfer sejumlah uang yang dilakukan pekerja asing ke negara asalnya. Jika dilihat dengan jumlah diaspora Indonesia saat ini, maka Indonesia akan memiliki pemasukan besar dari remitansi tersebut. Lebih lagi remitansi sangat dibutuhkan dan dapat berpengaruh besar bagi negara berkembang seperti Indonesia ini.

Namun dalam hal lain, ada pihak yang menyatakan bahwa dwikewarganegaraan ini tidak diperlukan. Karena bentuknya hanya berupa status dan difasilitasi dengan passport. Jika dilihat dari sisi manfaatnya, peran dwikewarganegaraan hanya bertopang pada rasa nasionalismen saja. Walaupun seorang sudah lepas dari WNI jika masih memiliki rasa nasionalisme maka dengan sendirinya orang itu bisa berbakti kepada Indonesia. Contohnya di negara India, di sana tidak berlaku dwikewarganegaraan, namun dapat dilihat bahwa orang yang bukan berkewarganegaraan India namun memiliki hubungan batin dengan negara tersebut masih tetap berbakti kepada negara itu. Karena kembali lagi, ini bukan hanya sekedar passport.

Yang menjadi pertimbangan pemerintah selama ini untuk memberlakukan dwikewarganegaraan adalah bidang keamanan negara. Diingat lagi bahwa permohonan untuk memberlakukan dwikewarganegaraan oleh diaspora berisi pemberian kewarganegaraan Indonesia bagi anak atau keturunan dari perkawinan campur dan juga mendapatkan kembali status kewarganegaraan Indonesia bagi atau orang yang dulunya WNI dan melepaskan statusya tersebut karena desakan asas warganegara tunggal ini.

Contohnya diambil dari seorang mantan WNI. Jika ia mendapatkan kembali status WNinya, ditakutkan jika ia pernah atau bahkan sedang tergabung dalam kelompok separatis, terorisme dan sebagainya. Maka dengan mendapatkan kembali status WNi tersebut dapat mengancam keamanan negara. Contoh lainnya jika ada keturunan diaspora yang mendapatkan status sebagai WNI juga suatu saat ia kembali tinggal di Indonesia, ia akan membawa kebudayaan barat atau negara tempat tinggal ya dulu masuk ke dalam Indonesia dan ditakutkan akan mengancam tegaknya adat budaya di Indonesia.

Ada banyak pertimbangan positif dan negatif dari berlakunya dwikewarganegaraan di Indonesia yang harus dipikirkan terlebih dahulu. Dan sekiranya keputusan mana yang memiliki resiko minimal, dan keputusan mana yang resikonya dapat diatasi seperti resiko keamanan yang seharusnya Indonesia mampu meningkatkan keamanan negaranya dan lain sebagainya.-

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun