Mohon tunggu...
diyah meidiyawati
diyah meidiyawati Mohon Tunggu... Guru - tinggalkan jejak kebaikan lewat tulisan

Diyah Meidiyawati, S.S, , seorang guru di sebuah SMK negeri di Bojonegoro, Jawa Timur .

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Adaptasi : Cepat atau Lambat ?

15 Desember 2024   20:30 Diperbarui: 15 Desember 2024   19:38 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia adalah makhluk sosial. Ia membutuhkan orang lain untuk berbagi banyak hal. Untuk itulah setiap orang tentunya harus menjalin pertemanan khususnya di lingkungan yang baru. Namun terkadang menjalin pertemanan dapat menjadi mudah atau sulit apalagi bagi seorang new comer, pendatang baru. 

Berada di lingkungan baru sering menuntut seorang new comer untuk pandai-pandai beradaptsi secepat mungkin dengan orang-orang di sekitar, namun terkadang itu sulit dilakukan, utamanya bila orang-orang di sekitar berasal dari generasi yang berbeda bahkan jauh di bawah generasi kita. Bila kita tidak menurunkan ego - rasa lebih segalanya dari orang lain -  tentunya akan sangat sulit untuk bersosialisasi dan konsekuensinya adaptasi akan sangatlah lama.

Di lingkungan baru, seorang new comer sebaiknya menyadari bahwa pertemanan yang telah terbentuk  tidak dapat diubah. Di sinilah kita harus menyadari bahwa setiap orang tentunya memiliki kecenderungan masing-masing untuk menentukan siapa saja yang akan menjadi teman terdekatnya atau yang saat ini viral dengan istilah bestie. Kecenderungan itu disebabkan oleh banyak hal. Bisa jadi karena kesamaan minat, kesamaan kepentingan, kesamaan karakter atau yang paling utama adalah kesamaan nasib yang membuat dua orang atau lebih saling dekat dan terpaut.

Masing-masing dari mereka berhak memilih siapa bestie-nya. Bukankah  hal yang teramat menyenangkan bila setiap moment ataupun event dirayakan dengan teman terdekat?  Bagaimana jika kita adalah subyek yang  tidak menjadi bestie untuk orang lain? Apakah kita  akan  berputus harapan dengan segala sedu sedan dan berpikir bahwa mereka jahat? Atau kita berpikir bahwa kita tak layak utuk dijadikan seorang bestie? Jangan negative thinking! Mari kita coba berdialog dengan frame pemikiran yang lebih terbuka dan flexible tentunya!

Hal pertama yang dapat dilakukan adalah berjiwa besar. Tak perlulah berkecil hati ataupun galau. Jangan pula berasumsi bila kita tidak disuka dan terbuang dari lingkungan. Stop berpikir negatif! Sadari bila Tuhan menciptakan manusia dengan keberagaman rupa dan rasa. Semua ciptaan-Nya pasti ada bedanya bahkan kembar identikpun memiliki perbedaan.    

Tidak terpilihnya kita bisa jadi karena ada ketidaksamaan dalam diri kita dengan mereka  dalam beberapa hal. Karakter, usia, minat, kepentingan bahkan nasib kita  tidaklah sama dengan yang mereka punya. Tidak usah baper dan galau tiada akhir! Lantas apakah akan mangkir dari lingkungan yang tidak menganggap kita ada? Tak harus berpikir sejauh itu hingga harus pergi dari lingkungan  yang mungkin baru saja kita datangi demi sebuah ilmu ataupun sebuah karir.

Biarkan saja mereka dengan bestienya. Tidak usah protes dan marah dengan lingkungan dan keadaan yang notabene telah tercipta sebelum kita datang. Hal yang tak dapat dipungkiri terkadang akan muncul rasa diabaikan dan tak dianggap.  Pengabaian ini kerap menjadikan seseorang rendah diri, tak terkecuali kita. Hal yang sangat wajar, sih. Namun rasa serupa itu tak perlulah dipelihara. Berilah ruang dalam diri untuk mengakui bahwa setiap orang tidaklah sama.

Selanjutnya adalah bersikap baik dengan sewajarnya. Tetaplah ramah dan baik pada semua orang di lingkungan tersebut. Jadikan salam, senyum, sapa, terima kasih dan maaf menjadi icon  kita dalam pergaulan keseharian. Selama kita bersikap dan bertutur kata baik dan wajar maka tak akan ada masalah. Jangan enggan memberikan bantuan meskipun tidak diminta. Uluran tangan yang kita berikan bisa jadi akan membukakan pikirannya tentang diri kita yang sebenarnya.

Terlebih lagi kebaikan yang kita lakukan akan menghadirkan energi positif untuk diri sendiri dan bisa jadi menular ke lingkungan sekitar. Perlakuan positif yang kita berikan selanjutnya akan menjadi bonus icon ‘baik’ yang melekat permanen tanpa harus mengubah jati diri. Ingat ya, tetap jadi diri sendiri.

Sebagai seorang new comer, penting juga untuk bertanya tentang hal-hal baru yang mendukung profesionalitas di tempat kerja. Seperti kata pepatah malu bertanya sesat di jalan begitu pula jika kita tidak bertanya hal-hal yang terkait pekerjaan. Kita tak akan mengetahui alur kerja yang semestinya. Bertolak dari pertanyaan – pertanyaan  itulah akhirnya perbincangan dapat terjalin sebagai bentuk pengakraban diri dan juga menjalin pertemanan.

Komunikasi dengan topik sederhana di awal bisa jadi berkembang menjadi sharing ilmu dan informasi. Sharing ilmu  dan informasi yang up to date sangatlah memberikan poin plus untuk kita. Hal yang menyenangkan jika kita mendapatkan teman sharing yang sefrekuensi. Bisa nyambung dan tambah klik tentunya. Sefrekuensi tidaklah harus seusia kita, tetapi bisa jadi sefrekuensi itu berbeda usia. Jadi, kita bisa menambah referensi imu pengetahuan kita dengan aktifitas sharing tersebut tanpa  membedakan rentang usia .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun