Pengawasan dan Regulasi: Memperketat pengawasan dan penerapan regulasi anti-fraud di berbagai sektor.Kerjasama Antar Pihak: Meningkatkan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan penipuan.
Teknologi Keamanan: Mengadopsi teknologi keamanan yang lebih canggih untuk melindungi data pribadi dan mencegah penipuan.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Indonesia dapat mengurangi kasus penipuan dan menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi masyarakat.
Penipuan digital adalah jenis kejahatan yang jumlah dan modusnya meningkat pesat seiring digitalisasi di Indonesia. Karena itu, pemetaan terhadap insiden, saluran, korban, kerugian, dan rekomendasi sangat penting untuk dilakukan. Survei nasional terhadap 1.700 responden laki-laki dan perempuan di 34 provinsi Indonesia yang diperkaya dengan dua Focus Group Discussion (FGD) bersama 20 responden terplih ini bertujuan melakukan pemetaan tersebut. Riset ini menunjukkan tingginya kerentanan masyarakat terhadap penipuan digital, yaitu sebanyak 98,3% responden (1.671 orang) pernah menerima pesan penipuan digital, baik satu maupun lebih. Modus pesan penipuan yang paling banyak mereka terima adalah penipuan berkedok hadiah (91,2%), pinjaman ilegal (74,8%), pengiriman tautan/link yang berisi malware/virus (65,2%), penipuan berkedok krisis keluarga (59,8%), dan investasi ilegal (56%). Medium komunikasi yang paling banyak digunakan dalam penipuan adalah jaringan seluler (SMS/telepon) (64,1%), yang sifatnya sangat mudah, murah, dan merupakan fitur mendasar pada telepon seluler sehingga jangkauannya bisa sangat luas. Medium terbanyak selanjutnya adalah media sosial (12,3%), aplikasi chat (9,1%), situs web (8,9%), dan email (3,8%). Riset ini mencatat temuan memprihatinkan berupa 66,6% responden (1.132 orang) pernah menjadi korban penipuan digital. Modus penipuan dengan korban paling banyak adalah penipuan berkedok hadiah (36,9%), pengiriman tautan/link yang berisi malware/virus (33,8%), penipuan jual-beli (29,4%), situs web/aplikasi palsu (27,4%), dan penipuan berkedok krisis keluarga (26,5%). Meski demikian, lebih dari separuh responden (50,8%) yang menjadi korban penipuan menyatakan bahwa mereka “tidak mengalami kerugian”. Alasan utamanya adalah mereka telah “mengikhlaskan peristiwa itu” sebagai bagian dari “cobaan” atau “perjalanan hidup”. Kadang, mereka juga melihat kebocoran data pribadi bukan sebagai kerugian karena tidak mengalami kerugian yang langsung dirasakan. Sementara itu, korban yang menyatakan mengalami kerugian uang berjumlah 15,2% responden, yang diikuti oleh yang merasakan kerugian waktu (12%), dan kerugian perasaan (8,4%). Dari seluruh korban penipuan tersebut, respons atau tindakan terbanyak yang mereka lakukan adalah menceritakan kepada keluarga atau teman (48,3%), tidak melakukan apa-apa (37,9%), menceritakan kepada warganet (5,3%), melaporkan kepada media sosial atau platform digital lainnya (5%), dan melaporkan kepada kepolisian (1,8%). Meski lapor ke kepolisian hanya menjadi pilihan 1,8% responden, sebanyak 94,8% responden menganggap kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk mencegah dan menangani penipuan digital, yang diikuti oleh pemerintah (92,4%), perusahaan terkait (90,6%), organisasi masyarakat sipil atau komunitas-komunitas di masyarakat (86,3%), dan perguruan tinggi (83,5%). Sementara itu, mengenai upaya untuk mencegah dan menangani penipuan digital, rekomendasi dari para responden adalah peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data pribadi (98%), kepastian hukum bagi penanganan penipuan digital (97,7%), publikasi kasus dan modus operandi penipuan digital terkini (97,4%), edukasi tentang keamanan digital (96,9%), ketersediaan laman dan aplikasi dari pihak berwenang untuk bisa mengecek validitas penjual (96,9%), dan kampanye publik agar warga berhati-hati dan tip cara menghindari penipuan (95,5%). FGD dengan para korban penipuan juga mencatat rekomendasi dari mereka berupa perlunya tindakan ekstra dari otoritas, yaitu pemerintah, kepolisian, dan perbankan untuk melacak dengan cepat nomor telepon seluler, akun media sosial, dan akun bank yang terindikasi penipuan. Kemudian, mengingat dominannya pemakaian nomor seluler (melalui SMS atau panggilan telepon) dalam tindak penipuan, Kementerian Kominfo dan operator seluler perlu menertibkan penjualan nomor seluler di pasaran sehingga setiap nomor seluler yang aktif bisa dipastikan identitas pemiliknya. Temuan riset ini akan digunakan untuk mendiskusikan aksi dengan berbagai pemangku kepentingan, sebagai referensi penyusunan policy brief yang diharapkan menjadi awal aksi kolaborasi untuk mencegah dan menangani penipuan digital.
Kesimpulan
Penipuan di media sosial merupakan ancaman serius yang dapat menyebabkan kerugian finansial, kerusakan reputasi, dampak psikologis, peningkatan kejahatan siber, dan eksploitasi data pribadi. Penting bagi pengguna media sosial untuk tetap waspada dan kritis terhadap informasi yang mereka temui online. Edukasi tentang penipuan digital dan kesadaran akan pentingnya perlindungan data pribadi harus ditingkatkan untuk mengurangi risiko penipuan di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H